Dan tentu saja, program semacam ini bisa berjalan paralel dengan agama lain. Di sekolah yang sama, pembacaan ayat suci lintas agama dilakukan pada hari Selasa dan Rabu pagi. Siswa-siswa yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha diberi ruang untuk membaca kitab sucinya masing-masing. Kehadiran jadwal yang berbeda ini membuat literasi spiritual di sekolah lebih inklusif dan memberi penghormatan pada keragaman iman.
Literasi yang Membentuk Karakter
Mengapa literasi spiritual penting? Karena literasi bukan cuma soal intelektualitas, tapi juga soal moralitas. Kita bisa saja cerdas membaca data, tetapi apakah kita peka membaca hati orang lain? Kita mungkin piawai menulis laporan, tetapi apakah kita mampu menulis kebaikan dalam tindakan nyata?
Di tengah derasnya arus digital yang menawarkan informasi instan, anak-anak kita membutuhkan jangkar nilai. Literasi kitab suci bisa menjadi salah satu jangkar itu. Ia mengajarkan bahwa di balik kata ada makna, di balik teks ada kebijaksanaan, dan di balik huruf ada keheningan yang menuntun hati.
Jangan Sampai Jadi Rutinitas Kosong
Namun, tentu ada catatan penting. Literasi spiritual akan kehilangan rohnya jika dijalankan sekadar sebagai rutinitas. Membaca kitab suci tiap pagi hanya untuk menggugurkan kewajiban, tanpa penghayatan, tidak akan membawa dampak yang berarti.
Justru tantangannya adalah bagaimana guru mampu menjadikan momen membaca kitab sebagai pengalaman reflektif. Misalnya, setelah membaca satu ayat atau paragraf, siswa diajak mendiskusikan nilai apa yang bisa mereka ambil hari itu. Dengan begitu, literasi benar-benar menyatu dengan kehidupan, bukan berhenti di bibir.
Investasi Karakter Jangka Panjang
Sejatinya, literasi spiritual adalah investasi jangka panjang. Ia membentuk anak-anak yang bukan hanya pintar, tetapi juga bijak; bukan hanya cerdas, tetapi juga berkarakter. Anak-anak yang terbiasa membaca kitab suci di pagi hari akan tumbuh dengan kebiasaan melihat hidup secara lebih dalam.
Mereka belajar bahwa hidup bukan sekadar mengejar nilai ujian, melainkan memahami makna setiap peristiwa. Mereka belajar bahwa kata-kata suci bisa menjadi lentera dalam menghadapi tantangan. Dan mereka belajar bahwa literasi bukan hanya soal membuka buku, melainkan membuka hati.
Penutup: Membaca Diri, Membaca Kehidupan