Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa (Kita) Mudah Marah di Jalan Raya? Sebuah Renungan di Lampu Merah

21 Agustus 2025   17:25 Diperbarui: 21 Agustus 2025   17:17 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di perempatan lampu merah Jl. Sultan Agung, ada jeda singkat yang mengajarkan kita berhenti sejenak dan merenung di tengah perjalanan. (Dok.Pribadi) 

Entah mengapa, hari ini perjalanan pulang kerja terasa begitu memanaskan hati. Baru keluar dari gang, pengendara motor dari arah berlawanan dengan santai memotong jalur tanpa helm dan tanpa menoleh sedikit pun. Ada juga yang menyalakan sein kanan tapi belok kiri, atau mengendarai di tengah jalur tapi pelan sehingga mengganggu orang lain. Sampai di lampu merah, suara knalpot brong memekakkan telinga, membuat banyak orang refleks menutup telinga. Tak lama kemudian, seorang pengemudi mobil membuka jendelanya hanya untuk membuang sampah tisu ke jalan.  

Sungguh pengalaman buruk..., rasanya seperti sedang diuji kesabaran dari awal perjalanan hingga sampai rumah. 

Semua kejadian itu membuat saya merenung: Kenapa ya, kita gampang sekali marah di jalan raya? Dan kenapa etika sederhana di ruang publik sering kali diabaikan seolah-olah jalan ini warisan keluarga?

Jalan Raya adalah Ruang Publik, Bukan Milik Pribadi

Seperti transportasi umum yang menjadi milik bersama, jalan raya juga ruang publik. Kita semua menggunakannya untuk tujuan yang berbeda, ada yang ingin cepat sampai rumah, ada yang sekadar mencari rezeki, ada pula yang sekadar pulang santai sambil menikmati sore.

Namun di lapangan, ego sering mengalahkan kesadaran itu. Kita merasa jalan di depan kendaraan adalah "wilayah pribadi", dan siapa pun yang memotong atau menghambat seolah sedang menyerang kita. Sama halnya dengan orang yang selonjor kaki di bus hingga menutup jalan orang lain, perilaku egois di jalan membuat suasana jadi tidak nyaman dan rawan konflik.

Stres dari Luar Jalan yang Ikut Terbawa

Kemarahan di jalan jarang murni karena kejadian di jalan. Sering kali itu adalah akumulasi dari stres yang kita bawa: tekanan kerja, masalah keluarga, bahkan sekadar lelah fisik. Jalan raya lalu menjadi tempat pelampiasan.

Saya teringat, di perjalanan sore ini, mungkin pengendara yang membuang sampah itu sebenarnya sedang terburu-buru. Mungkin pengendara yang menggeber knalpot hanya ingin memamerkan motornya, tanpa sadar mengganggu orang lain. Tapi di momen lelah, sulit sekali memberi "diskon" kesabaran.

Tugu Adipura Bandar Lampung, saksi bisu perjalanan kota dan jeda sejenak untuk merenung. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)
Tugu Adipura Bandar Lampung, saksi bisu perjalanan kota dan jeda sejenak untuk merenung. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun