Tiba di Gate 1 Bandara Internasional Soekarno Hatta sekitar pukul 12.30 siang (9/8/2025), saya langsung melirik satu sudut bandara yang menjanjikan aroma hangat: kedai kopi. Tujuan saya jelas, menyeruput secangkir kopi sebelum terbang.Â
Hari itu saya punya waktu tunggu yang panjang, sekitar 4,5 jam, sebelum jadwal boarding. Menghabiskan waktu tanpa secangkir kopi rasanya kurang lengkap.
Saya bukan pecandu kopi. Tidak ngopi pun sebenarnya tidak masalah. Namun anehnya, jika sehari tidak menyesap kopi, rasanya ada yang kurang, seperti ada yang hilang. Maka tak heran, ketika memasuki bandara dan melihat ada kedai kopi, rasanya seperti ada magnet yang menarik saya untuk mendekat.
Apalagi, nama kedai itu "Kopi Hitam Indonesia", nama yang begitu Indonesia banget, langsung memancing emosi dan rasa penasaran. Seolah berkata, "Kalau tidak beli, kamu melewatkan rasa negeri sendiri."
Namun begitu mendekat, saya menemukan papan kecil bertuliskan "ke toilet, sedang Sholat, ambil barang". Toko tutup. Tidak masalah, pikir saya. Waktu masih panjang.
Saya pun berjalan ke ruang tunggu, mencoba membunuh waktu. Setengah jam kemudian saya kembali. Kedai itu masih tutup, tetapi ada pemandangan unik: selembar uang pecahan Rp10.000 tergeletak di atas meja kasir. Tidak ada penjaga. Rupanya ada yang sudah menitipkan pembayaran, meski pelayan belum kembali.
Saya memutuskan untuk menunggu. Suasana sekitar mulai ramai. Beberapa calon pembeli yang tidak sabar akhirnya pergi. Begitu kedai dibuka, orang-orang langsung menyerbu. Aroma kopi bercampur riuh percakapan, tanda kedai ini menjadi penyelamat rasa kantuk para penumpang.
Giliran saya pun tiba. "Kopi hitam Aceh, sedikit gula," pinta saya. Saya memang pecinta kopi hitam, jadi pilihan itu datang secara alami. Dalam hati, saya berharap mendapatkan seduhan kopi bubuk murni, bukan kopi instan.Â
Namun begitu melihat kemasan sachet, ekspektasi itu luruh. Ya, sudah terlanjur memesan. Harga secangkirnya Rp20.000, cukup mahal untuk kopi sachet, tapi mungkin wajar di bandara.
Saya memilih pembayaran menggunakan QRIS, sistem pembayaran digital buatan Indonesia yang praktis dan cepat, bahkan di bandara sekalipun. Setelah kode QR dipindai, saya langsung membayar, lalu pelayan memotret layar ponsel saya sebagai bukti transaksi, rasanya seperti sedang difoto untuk kartu anggota klub pecinta kopi hehe...
Jenis kopi yang digunakan adalah Robusta, salah satu varietas kopi yang populer di Indonesia. Robusta dikenal memiliki rasa yang lebih pahit, kadar kafein lebih tinggi daripada Arabika, dan aroma yang lebih "keras". Bagi penikmat kopi hitam seperti saya, karakter Robusta yang kuat dan sedikit kasar justru punya daya tarik tersendiri.
Sekilas Perbedaan Robusta dan Arabika
Mungkin teman-teman sudah tahu perbedaan kopi Robusta dan Arabika, namun tak ada salahnya saya bagikan kembali informasi nya biar lebih lengkap.Â
Robusta: Rasa lebih pahit, kadar kafein tinggi, aroma tajam, cocok untuk campuran kopi instan atau kopi tubruk. Tahan terhadap hama, tumbuh baik di dataran rendah.
Arabika: Rasa lebih halus, tingkat keasaman lebih tinggi, aromanya kompleks dan lembut. Biasanya tumbuh di dataran tinggi dengan perawatan khusus.
Nah, di kedai itu sebenarnya ada banyak pilihan kopi: Aceh, Bali, Lampung, Bogor, Toraja, hingga Jawa. Namun saya tidak memilih kopi Lampung, meski berasal dari daerah yang juga punya kopi unggulan. Entah kenapa, hari itu hati saya tertuju pada kopi Aceh, mungkin karena kenangan lama yang belum pudar.
Saya memilih kopi Aceh bukan tanpa alasan. Dulu, di seberang Transmart Lampung, ada kuliner yang menjual kopi Gayo khas Aceh. Rasanya nendang, pekat, harum, dan meninggalkan jejak rasa yang dalam di lidah.
Namun tidak semua kenangan tentang kopi Aceh itu manis. Saya teringat mbah saya yang paru-parunya kotor dan akhirnya terkena komplikasi penyakit lain. Salah satu penyebabnya adalah kebiasaan minum kopi sachet terlalu sering. Akhirnya beliau harus menjalani pengobatan, baik di rumah sakit maupun secara tradisional. Pengalaman itu membuat saya berhati-hati: kopi boleh dinikmati, tapi tetap harus bijak.
Setelah mendapatkan kopi, saya kembali masuk ke ruang tunggu di Gate A1. Duduk di kursi dekat jendela, saya mulai menyeruput kopi sambil membuka laptop.Â
Saya seruput kopinya... ah, rasanya langsung menjalar ke otak, memutar kembali memori rasa yang dulu pernah ada.
Di sela-sela menulis artikel ini, mata saya tertuju pada lalu-lalang penumpang: ada yang sibuk memeriksa ponsel, ada yang bercanda bersama keluarga, ada pula yang tertidur pulas menunggu panggilan boarding.Â
Mengamati interaksi sosial di ruang tunggu ternyata sama menariknya dengan menikmati kopi itu sendiri.
Potensi Kopi di Indonesia
Indonesia adalah salah satu produsen kopi terbesar di dunia. Hampir setiap daerah punya karakter rasa kopi yang berbeda: Aceh dengan Gayo-nya, Toraja dengan cita rasa earthy, Lampung dengan Robusta yang mantap, hingga Java yang legendaris. Potensi ini bukan hanya kebanggaan, tapi juga peluang ekonomi besar, apalagi tren kopi spesial sedang berkembang di pasar global.
Bahkan, saya pribadi sering mendapat oleh-oleh kopi dari teman-teman: ada yang membawa kopi Jambi dengan aroma khas, kopi Temanggung yang terkenal harum, dan kopi Way Kanan yang punya rasa tegas di lidah. Setiap cangkir menjadi jendela rasa dari daerah yang berbeda.
Minum kopi di bandara hari itu membuat saya merenung. Bandara bukan hanya tempat menunggu pesawat, tapi juga ruang singgah bagi berbagai rasa dan cerita. Ada orang yang berburu oleh-oleh, ada yang berburu tempat duduk dekat colokan listrik, dan ada pula yang, seperti saya, berburu secangkir kopi yang memanggil kenangan.
Kopi hitam Aceh di bandara hari itu mungkin tidak sehebat kopi Gayo yang pernah saya cicipi. Tapi ia tetap menyajikan pelajaran: bahwa rasa tidak selalu sesuai ekspektasi, dan bahwa secangkir kopi bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang memori, kebiasaan, bahkan kesehatan.
Pukul 15.30 WIB, terdengar pemberitahuan untuk masuk pesawat. Saya seruput kopinya hingga tetes terakhir, hanya menyisakan ampas... dan kenangan yang tak akan hilang.Â
Sebelum cerita ini mendarat mulus, izinkan saya berbagi sedikit tips. Saya memang bukan pecandu kopi, tapi kalau sehari nggak ngopi rasanya ada yang hilang. Meski begitu, saya tetap menjaga diri supaya hobi ini tidak berubah jadi masalah kesehatan. Apalagi, kopi hitam kalau diminum sembarangan bisa bikin asam lambung protes keras. Nah, biar aman tapi tetap nikmat, ini resep ala saya.
Tips ala saya agar kopi hitam tidak memicu asam lambung:
Pertama, minum kopi setelah makan, jangan dalam keadaan perut kosong.
Kedua, pilih kopi murni tanpa campuran gula berlebihan atau krimer.
Ketiga, seduh kopi dengan air panas yang tidak terlalu mendidih, agar rasa lebih lembut dan tidak terlalu asam.
Keempat, batasi porsi, cukup satu gelas kecil saja.
Kadang yang kita buru bukan sekadar kopinya, melainkan rasa rindu pada momen yang pernah ada. Selalu ada cerita, makna, dan hikmah di setiap momen.Â
Jadi, bagaimana? Cerita hobiku ini menarik dan bermanfaat, bukan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI