Saya seruput kopinya... ah, rasanya langsung menjalar ke otak, memutar kembali memori rasa yang dulu pernah ada.
Di sela-sela menulis artikel ini, mata saya tertuju pada lalu-lalang penumpang: ada yang sibuk memeriksa ponsel, ada yang bercanda bersama keluarga, ada pula yang tertidur pulas menunggu panggilan boarding.Â
Mengamati interaksi sosial di ruang tunggu ternyata sama menariknya dengan menikmati kopi itu sendiri.
Potensi Kopi di Indonesia
Indonesia adalah salah satu produsen kopi terbesar di dunia. Hampir setiap daerah punya karakter rasa kopi yang berbeda: Aceh dengan Gayo-nya, Toraja dengan cita rasa earthy, Lampung dengan Robusta yang mantap, hingga Java yang legendaris. Potensi ini bukan hanya kebanggaan, tapi juga peluang ekonomi besar, apalagi tren kopi spesial sedang berkembang di pasar global.
Bahkan, saya pribadi sering mendapat oleh-oleh kopi dari teman-teman: ada yang membawa kopi Jambi dengan aroma khas, kopi Temanggung yang terkenal harum, dan kopi Way Kanan yang punya rasa tegas di lidah. Setiap cangkir menjadi jendela rasa dari daerah yang berbeda.
Minum kopi di bandara hari itu membuat saya merenung. Bandara bukan hanya tempat menunggu pesawat, tapi juga ruang singgah bagi berbagai rasa dan cerita. Ada orang yang berburu oleh-oleh, ada yang berburu tempat duduk dekat colokan listrik, dan ada pula yang, seperti saya, berburu secangkir kopi yang memanggil kenangan.
Kopi hitam Aceh di bandara hari itu mungkin tidak sehebat kopi Gayo yang pernah saya cicipi. Tapi ia tetap menyajikan pelajaran: bahwa rasa tidak selalu sesuai ekspektasi, dan bahwa secangkir kopi bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang memori, kebiasaan, bahkan kesehatan.