5. Antiklimaks di Lapangan: Lomba, Upacara, dan Warga yang Bingung
Di banyak wilayah, mungkin terjadi kekacauan kecil dalam penjadwalan lomba dan upacara 17-an. Karena tanggal 17-nya Minggu, beberapa kegiatan dipindah ke Sabtu 16 Agustus. Akibatnya, ada yang upacara sebelum tanggal 17. Ada pula yang menunda lomba ke tanggal 18, padahal suasananya sudah tidak terasa 17-an lagi.
Mungkin guru dan kepala sekolah juga mengeluh: bagaimana mungkin upacara kemerdekaan dilakukan di hari Sabtu, ketika anak-anak belum sempat menyerap suasana kebangsaan dari media dan keluarga?
Warga RT pun bingung: apakah lomba panjat pinang digelar hari Minggu? Tapi itu hari ibadah. Hari Sabtu? Anak-anak masih sekolah. Hari Senin? Udah bukan 17-an.
Kalender memang bisa menetapkan tanggal, tapi tak bisa mengatur emosi kolektif.
6. Libur Ganda dan Pola Produktivitas
Dari sisi dunia kerja, libur 17 Agustus di hari Minggu dan ditambah libur Senin membuat akhir pekan jadi long weekend. Banyak orang yang antusias, karena bisa jalan-jalan atau istirahat lebih panjang.
Namun, ada pula kekhawatiran dari sektor bisnis dan pemerintahan tentang produktivitas yang terpangkas. Terutama di instansi pendidikan dan pelayanan publik, jeda dua hari bisa mengganggu ritme kerja. Apalagi jika setelahnya muncul “malas hari Selasa.”
Dari sisi psikologis, libur panjang memang bisa menyegarkan. Tapi tanpa makna yang jelas, ia hanya menjadi pelarian, bukan perayaan.
7. Nasib Bendera, Bambu Runcing, dan Spirit Kemerdekaan
Pertanyaan besar: bagaimana nasib bendera dan bambu runcing di tahun ini?