Alih-alih memunculkan semangat nasionalisme, hari itu berubah menjadi momen “recovery” dari akhir pekan yang diperpanjang. Momentum emosionalnya hilang. Simbolismenya tak terasa.
Dan yang lebih menarik: hari kemerdekaan kehilangan tanggalnya sendiri. Rasanya seperti ulang tahun yang dirayakan keesokan harinya karena “tanggal aslinya kebetulan bentrok.”
3. Nasionalisme dalam Budaya Liburan
Kita harus akui bahwa sebagian masyarakat Indonesia memiliki semangat nasionalisme yang muncul “musiman”, terutama saat momen simbolik seperti 17 Agustus. Maka ketika simbol itu hilang, emosi kolektif pun ikut menguap.
Padahal 17 Agustus bukan sekadar tanggal merah. Ia adalah ritus nasional. Sebuah tonggak yang tiap tahun mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tapi hasil perjuangan. Ketika ritus itu tidak terlihat di ruang publik, karena semua orang liburan atau rebahan makna hari kemerdekaan jadi seperti kehilangan panggung.
Lebih ironis lagi, sebagian orang justru “bersyukur” karena tidak harus ikut upacara. Mereka melihat libur ini bukan sebagai momen reflektif, tapi sebagai hari bebas. Apakah ini tanda bahwa nasionalisme mulai digeser oleh kenyamanan pribadi?
4. Tema HUT ke-80 RI 2025: Menegaskan Kembali Semangat Nasionalisme
Padahal secara nasional, pemerintah telah menetapkan tema besar HUT ke-80 Republik Indonesia tahun 2025 melalui dokumen Pedoman Identitas Visual 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Tema tersebut adalah:
“Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”
Tema ini membawa pesan kuat: bahwa kebersatuan dan kedaulatan adalah fondasi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dan mendorong Indonesia menjadi bangsa yang maju. Ia merupakan seruan kebangsaan untuk tetap solid, tidak tercerai-berai oleh perbedaan, dan bersama-sama melangkah ke masa depan yang lebih cerah.
Namun, bagaimana jika pesan sekuat ini tidak “bertemu” dengan momentum sosial yang cukup? Ketika 17 Agustus kehilangan hiruk-pikuknya, akankah tema ini tersampaikan dengan kuat? Atau hanya berhenti di baliho dan logo?