Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mau Pindah Sekolah? Mungkin Bukan Tempatnya yang Salah, Tapi Waktunya yang Belum Cukup

25 Juli 2025   20:18 Diperbarui: 26 Juli 2025   09:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa ingin pindah. Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan ChatGPT

Pindah Sekolah: Solusi atau Pelarian?

Saat seorang siswa mengutarakan keinginan untuk pindah, penting bagi kita guru, orang tua, dan sekolah untuk tidak langsung menghakimi. Bisa jadi, memang ada faktor yang harus diperbaiki dari sekolah ini. Tapi bisa juga, ini adalah respons alami dari kegagalan adaptasi yang belum diberi cukup waktu dan ruang untuk tumbuh.

Saya tidak langsung berkata, “Jangan pindah.” Tapi saya bertanya, “Kenapa ingin pindah?”

Dari obrolan kami, terungkap bahwa ia merasa tidak punya teman yang cocok, merasa tidak nyaman dengan suasana kelas, dan merasa ‘beda sendiri’ di antara teman-temannya. Saya dengarkan tanpa menyela. Lalu saya katakan pelan:

“Kadang, sekolah itu seperti sepatu. Waktu pertama kali dipakai, bisa terasa sempit. Tapi lama-lama, dia akan mengikuti bentuk kaki kita. Asal kamu sabar sedikit, dan kamu terus melangkah.”

Peran Sekolah dalam Menyuburkan Adaptasi

Adaptasi bukan hanya tugas siswa. Sekolah juga punya peran penting sebagai agent of support. Kami sebagai guru tidak bisa hanya mengajar di kelas, lalu pulang. Kami perlu hadir juga sebagai pendengar. Sebagai penjaga suasana, sebagai orang dewasa yang bisa menjadi tempat bertanya, tempat berteduh saat anak-anak ini merasa asing di tempat yang seharusnya jadi rumah keduanya.

Hari itu, saya biarkan mereka bicara. Saya tidak mempercepat proses, saya tidak memberi ceramah panjang, saya hanya memberi ruang. Dan ternyata, itu cukup. Anak yang tadi ingin pindah mulai berpikir ulang. Anak yang ragu-ragu mulai merasa dimengerti. Anak yang sudah betah merasa dihargai karena pengalamannya didengar.

Adaptasi Butuh Komunitas, Bukan Hanya Niat

Kita sering berkata pada siswa, “Ayo, kamu harus bisa menyesuaikan diri.” Tapi lupa bahwa penyesuaian diri bukan hanya soal niat. Tapi soal ekosistem. Anak-anak butuh komunitas yang aman. Butuh teman-teman yang terbuka. Butuh guru yang sabar. Butuh kegiatan yang memberi mereka peran. Tanpa itu, adaptasi akan terasa seperti perjuangan sepi yang melelahkan.

Saya sampaikan ke mereka, “Kalian bukan satu-satunya yang merasa bingung, canggung, atau kesepian. Hampir semua orang pernah merasa begitu. Bedanya, ada yang berani bicara, dan ada yang memilih diam. Kalian termasuk yang berani. Itu luar biasa.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun