Menariknya, Depot Jamu Cak Titus Sutiono bukan tempat yang didominasi kaum pria. Hari ini saya lihat sendiri-banyak ibu-ibu, bahkan remaja, yang juga datang dengan semangat dan kepercayaan penuh untuk merawat tubuh dengan cara alami. Tempat ini menjadi lintas generasi dan gender, menyatukan banyak orang dalam satu keyakinan: jamu bisa menyembuhkan.
Bahkan, istri saya pun termasuk pelanggan tetap Depot Jamu Cak Titus Sutiono. Bukan hanya untuk jamunya, tapi karena satu hal unik: putih telur. Ya, depot ini memanfaatkan sisa putih telur dari proses pemisahan kuning telur (yang biasanya digunakan untuk jamu tertentu), dan menjual putihnya dengan harga murah. Istri saya rutin membelinya untuk bahan membuat kue di rumah.
Sungguh, Depot Jamu Cak Titus Sutiono bukan hanya tempat penyembuhan, tapi juga penggerak ekonomi rumah tangga. Apa yang dijual tidak berhenti di gelas, tapi meluas hingga ke dapur dan industri rumahan. Ini benar-benar depot jamu dengan multi efek: menyembuhkan tubuh, menyatukan masyarakat, melestarikan budaya, dan menghidupkan ekonomi rakyat kecil.
Lebih dari Sekadar Minuman
Depot ini juga membuka ruang interaksi antarwarga. Tak jarang, sembari menunggu giliran, pelanggan bertukar cerita: tentang penyakit, tentang hidup, tentang pengalaman minum jamu yang menyembuhkan secara perlahan namun pasti. Di sana, jamu bukan hanya penyembuh tubuh, tapi juga jembatan antarjiwa.
Yang lebih mengagumkan lagi, Depot Jamu Titus sudah berdiri sejak lama dan menjadi legenda hidup di Bandar Lampung. Ia bukan pemain baru dalam dunia jamu, melainkan penjaga warisan tradisional yang konsisten melayani masyarakat dari generasi ke generasi. Jam operasionalnya pun luar biasa: buka hingga pukul 12 malam.Â
Tak jarang, orang-orang masih berdatangan menjelang tengah malam, entah untuk meredakan pegal, menjaga stamina, atau sekadar melepas penat dengan segelas ramuan tradisional yang menenangkan.
Menjaga Warisan di Tengah Gempuran Zaman
Apa yang dilakukan Depot Jamu Cak Titus Sutiono sejatinya adalah aksi pelestarian. Ketika minum jamu menjadi bagian dari rutinitas, maka budaya turut hidup di dalamnya. Racikan yang diwariskan dari generasi ke generasi membawa jejak sejarah panjang pengobatan Nusantara, yang kini masih bertahan berkat tangan-tangan terampil peracik jamu seperti di depot ini.
Saya merasa beruntung bisa mengenalnya. Empat kali ke sana, dan tiap kunjungan membawa cerita baru. Termasuk hari ini, ketika saya melihat sendiri bagaimana seseorang yang terbiasa kerasnya pekerjaan konstruksi pun bisa merasakan kelembutan khasiat dari jamu tradisional. Dan ketika saya melihat istri saya membawa pulang putih telur dari depot jamu, saya tahu bahwa tempat ini lebih dari sekadar warung obat, ia adalah pusat kehidupan.