Apa maknanya?
Pikiran yang tenang bukan berarti tanpa masalah. Â Ia justru lahir dari keberanian untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya---tanpa menghindar, tanpa melekat, tanpa menghakimi.
Ketika kita berhenti berlari dari kenyataan, dan mulai duduk dalam keheningan, di situlah Dhamma mulai terasa hadir, bukan hanya dipahami.
Tenang bukan berarti lemah.
Tenang adalah kekuatan yang tidak mencari pengakuan.
Tenang adalah ketika kita memilih tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Tenang adalah saat kita mampu memaafkan, sekaligus belajar dari luka.
Setiap hari, pilih satu syair.
Baca perlahan. Diam sejenak.
Lalu biarkan syair itu bekerja dalam tindakan, bukan hanya dalam pikiran.
Karena Dhammapada bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupi.
Mari kita bawa satu syair Dhammapada ke dalam hidup setiap hari. Bukan untuk dihafal, tapi untuk diamalkan. Karena dalam satu syair, bisa tersimpan satu transformasi besar.
Penutup: Dari Syair Menuju Sejarah
Hari ini, umat Buddha dari berbagai penjuru Nusantara membaca Dhammapada secara serentak. Bukan sekadar upaya memecahkan rekor MURI, tetapi peristiwa batin yang menyatukan beribu suara dalam satu hati yang tenang dan penuh kebajikan. Kegiatan membaca Dhammapada massal ini boleh jadi tercatat dalam sejarah rekor dunia. Tapi yang paling penting, semoga juga tercatat dalam sejarah batin kita masing-masing.Â
Hari ini, beribu suara dalam satu hati: Membaca Dhammapada dalam Nada Persatuan Bangsa. Mengapa demikian? Saya melihat persatuan lintas daerah, etnis, dan latar belakang umat Buddha Indonesia yang sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa momentum Waisak sebagai bukti bahwa spiritualitas bisa memperkuat nasionalisme damai dengan bersama-sama membacakan syair suci Dhammapada.Â
Di tengah keberagaman etnis, daerah, dan bahasa, kita menyatu dalam satu bahasa universal: bahasa Dhamma.
Inilah bukti bahwa spiritualitas, bila dijalani bersama dalam kesadaran, dapat memperkuat nasionalisme damai---nasionalisme yang bukan menggenggam, tetapi merangkul.