Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Dhammapada, Menulis Ulang Masa Depan

15 Juni 2025   17:56 Diperbarui: 15 Juni 2025   17:56 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petikan Syair Dhammapada.  Sumber Dok. Pribadi

Apa maknanya?

Pikiran yang tenang bukan berarti tanpa masalah.  Ia justru lahir dari keberanian untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya---tanpa menghindar, tanpa melekat, tanpa menghakimi.

Ketika kita berhenti berlari dari kenyataan, dan mulai duduk dalam keheningan, di situlah Dhamma mulai terasa hadir, bukan hanya dipahami.

Tenang bukan berarti lemah.
Tenang adalah kekuatan yang tidak mencari pengakuan.
Tenang adalah ketika kita memilih tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Tenang adalah saat kita mampu memaafkan, sekaligus belajar dari luka.

Setiap hari, pilih satu syair.
Baca perlahan. Diam sejenak.
Lalu biarkan syair itu bekerja dalam tindakan, bukan hanya dalam pikiran.

Karena Dhammapada bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupi.

Mari kita bawa satu syair Dhammapada ke dalam hidup setiap hari. Bukan untuk dihafal, tapi untuk diamalkan. Karena dalam satu syair, bisa tersimpan satu transformasi besar.

Penutup: Dari Syair Menuju Sejarah

Hari ini, umat Buddha dari berbagai penjuru Nusantara membaca Dhammapada secara serentak. Bukan sekadar upaya memecahkan rekor MURI, tetapi peristiwa batin yang menyatukan beribu suara dalam satu hati yang tenang dan penuh kebajikan. Kegiatan membaca Dhammapada massal ini boleh jadi tercatat dalam sejarah rekor dunia. Tapi yang paling penting, semoga juga tercatat dalam sejarah batin kita masing-masing. 

Hari ini, beribu suara dalam satu hati: Membaca Dhammapada dalam Nada Persatuan Bangsa. Mengapa demikian? Saya melihat persatuan lintas daerah, etnis, dan latar belakang umat Buddha Indonesia yang sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa momentum Waisak sebagai bukti bahwa spiritualitas bisa memperkuat nasionalisme damai dengan bersama-sama membacakan syair suci Dhammapada. 

Di tengah keberagaman etnis, daerah, dan bahasa, kita menyatu dalam satu bahasa universal: bahasa Dhamma.
Inilah bukti bahwa spiritualitas, bila dijalani bersama dalam kesadaran, dapat memperkuat nasionalisme damai---nasionalisme yang bukan menggenggam, tetapi merangkul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun