Fenomena generasi sandwich kian menjadi sorotan dalam diskusi sosial dan ekonomi di Indonesia. Generasi ini---yang terdiri dari individu usia produktif yang menanggung kebutuhan hidup orang tua sekaligus anak-anak mereka---berada dalam tekanan ekonomi yang kompleks. Mereka terjebak dalam tanggung jawab ganda: menjaga keberlangsungan ekonomi keluarga lama dan membangun fondasi bagi keluarga baru. Ketika berbicara soal mimpi pensiun dini, atau setidaknya pensiun dengan sejahtera, generasi sandwich seolah menghadapi kenyataan yang jauh panggang dari api. Dalam konteks ini, fenomena membludaknya job fair di berbagai kota Indonesia menjadi menarik untuk dicermati. Ribuan pencari kerja mengantre, mengantongi harapan, dan berlomba-lomba memperebutkan posisi demi satu hal yang sama: stabilitas finansial yang, mungkin, bisa menuntun mereka keluar dari jerat sandwich dan mendekatkan pada mimpi pensiun.
Job fair yang kini seakan menjadi agenda rutin di kampus-kampus maupun pusat perbelanjaan besar mencerminkan betapa tingginya permintaan akan pekerjaan. Di satu sisi, ini bisa diartikan sebagai upaya aktif dari generasi muda untuk mandiri secara ekonomi. Namun di sisi lain, antusiasme yang begitu tinggi hingga mencapai puluhan ribu pengunjung dalam satu job fair menunjukkan tekanan sosial-ekonomi yang luar biasa. Banyak dari mereka bukan hanya mencari pekerjaan pertama, tapi juga pekerjaan kedua, ketiga, atau bahkan pekerjaan tambahan. Ini menunjukkan bahwa satu penghasilan saja sering kali tak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari, apalagi jika harus menanggung dua generasi sekaligus.
Generasi sandwich tidak punya banyak ruang untuk mengambil risiko atau beristirahat. Mereka bekerja lebih keras dari generasi sebelumnya, namun sering kali hasilnya tidak sebanding. Kenaikan biaya hidup, pendidikan, perumahan, dan kesehatan membuat mereka terus berputar dalam siklus kerja-untuk-hidup yang tak kunjung usai. Impian untuk pensiun sebelum usia 60 tahun, bepergian keliling dunia, atau sekadar memiliki tabungan pensiun yang cukup, menjadi angan yang perlahan memudar. Terlebih, banyak dari mereka yang harus menalangi kebutuhan pensiun orang tuanya yang dulu tak sempat menabung karena keterbatasan akses atau pengetahuan finansial.
Mimpi pensiun sejahtera kemudian bergeser menjadi "asal bisa hidup nyaman di hari tua", bukan "hidup bebas dan menikmati hasil kerja keras." Bahkan, banyak yang tak lagi membayangkan bisa pensiun; mereka merasa akan terus bekerja hingga fisik tak lagi memungkinkan. Dalam kondisi ini, setiap peluang kerja terasa begitu penting. Maka tak heran jika job fair selalu membludak, karena bagi banyak orang, pekerjaan bukan hanya alat pemenuhan diri, melainkan pelampung finansial yang menopang eksistensi keluarga besar mereka.
Di tengah gempuran tekanan ini, perlu disoroti bagaimana negara dan institusi keuangan turut berperan dalam memperbaiki struktur dukungan bagi generasi sandwich. Program pensiun, asuransi kesehatan, dan literasi keuangan seharusnya tak hanya menjadi tanggung jawab individu. Sayangnya, infrastruktur jaminan sosial di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Banyak pekerja yang tidak mendapatkan jaminan pensiun layak, terutama mereka yang bekerja di sektor informal atau bergaji rendah. Hal ini membuat generasi sandwich semakin terbebani dan merasa tidak memiliki pilihan selain terus bekerja tanpa jeda.
Job fair seharusnya tak hanya menjadi tempat perekrutan, tetapi juga ajang edukasi dan pemberdayaan. Penyedia kerja bisa menawarkan pelatihan keterampilan, seminar tentang pengelolaan keuangan, dan akses informasi tentang jaminan pensiun. Jika job fair hanya berisi deretan booth dengan daftar lowongan, maka fungsinya terbatas pada menambal kebutuhan jangka pendek. Padahal, untuk membantu generasi sandwich melepaskan diri dari lingkaran tekanan finansial, dibutuhkan pendekatan jangka panjang dan sistemik.
Generasi sandwich bukan kelompok yang lemah atau malas berusaha. Justru mereka adalah bukti ketangguhan dalam menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Namun, ketangguhan ini tidak bisa terus dipaksakan tanpa dukungan nyata. Ketika mimpi pensiun hanya tinggal wacana dan pekerjaan menjadi satu-satunya tumpuan harapan, maka kita harus mulai bertanya: apakah sistem sosial kita adil terhadap mereka?
Membludaknya job fair adalah alarm sosial yang tak bisa diabaikan. Ia menandakan bahwa semakin banyak orang yang menggantungkan harapan pada dunia kerja, meskipun dunia kerja itu sendiri kian penuh kompetisi dan tak selalu menjanjikan keamanan jangka panjang. Kita melihat antrean panjang bukan karena masyarakat malas atau tidak kreatif, tetapi karena struktur ekonomi yang belum mampu memberikan ruang aman untuk generasi produktif yang tengah dihimpit tanggung jawab ganda.
Impian pensiun yang tenang dan bebas beban seharusnya menjadi hak semua orang yang telah bekerja keras, bukan hak istimewa yang hanya bisa diraih segelintir orang. Maka, untuk mewujudkan itu, perubahan harus dimulai dari sekarang---dari bagaimana kita mendesain ulang sistem ketenagakerjaan, sistem pensiun, hingga bagaimana kita memaknai job fair bukan hanya sebagai tempat mencari kerja, tetapi juga sebagai momentum membangun masa depan yang lebih layak bagi generasi sandwich.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI