Faktor seperti ketidakjelasan peran, kurangnya dukungan dari atasan, atau lingkungan kerja yang toksik juga berkontribusi besar.Â
Ketika ekspektasi pekerjaan terus meningkat tanpa diimbangi dengan dukungan yang memadai, pekerja akan merasa kehilangan kendali dan motivasi.
Normalisasi Istirahat, Bukan Glorifikasi Kesibukan
Salah satu cara paling efektif untuk mengatasi burnout adalah dengan mengubah paradigma tentang istirahat.Â
Di banyak perusahaan, rehat masih dianggap sebagai kemalasan terselubung. Padahal, istirahat yang cukup bukan hanya hak pekerja, tetapi juga investasi dalam produktivitas jangka panjang.
Perusahaan perlu lebih aktif dalam menciptakan budaya yang mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan.Â
Kebijakan seperti cuti yang benar-benar dihormati (tanpa gangguan email atau telepon), jam kerja yang fleksibel, serta dukungan terhadap kesehatan mental perlu diterapkan secara nyata, bukan sekadar jargon manajemen.
Beberapa perusahaan di negara maju mulai menerapkan kebijakan seperti "No Meeting Fridays" atau "Right to Disconnect" yang memberi hak bagi pekerja untuk tidak merespons komunikasi terkait pekerjaan di luar jam kerja.Â
Di Indonesia, praktik semacam ini masih langka, tetapi bukan berarti tidak mungkin diterapkan.
Selain kebijakan perusahaan, individu juga perlu lebih sadar akan pentingnya menetapkan batasan.Â
Menolak lembur yang tidak perlu, menetapkan waktu kerja yang jelas, serta mencari kegiatan yang memberi kepuasan di luar pekerjaan adalah langkah-langkah yang bisa membantu menjaga kesehatan mental.
Mengembalikan Makna dalam Bekerja
Burnout sering kali muncul ketika seseorang merasa pekerjaannya tidak lagi bermakna.Â