Pajak : Kontrak Sosial Kita Dengan Negara
Oleh : Tulus Ferdiansyah
Apa yang ada dipikiran anda jika mendengar kata " pajak" ?. Sebagian besar dari kita pasti menganggap pajak adalah hal yang negatif. Pajak dianggap sebagai beban, sebagai uang yang "hilang" dari kantong kita. Namun, persepsi ini perlu kita koreksi. Pajak, pada hakikatnya, bukanlah sekadar kewajiban membrangkah yang dipaksakan negara, melainkan cermin dari sebuah kontrak sosial antara warga negara dan negaranya. Ia adalah harga yang kita bayar untuk sebuah peradaban.
Bayangkan sebuah negara tanpa pajak. Tidak ada jalan raya yang mulus untuk kita lalui, tidak ada rumah sakit yang siap melayani di tengah malam, tidak ada sekolah negeri yang memberikan akses pendidikan, tidak ada polisi atau pemadam kebakaran yang melindungi, dan tidak ada taman tempat anak-anak kita bermain. Konsep "public goods" atau barang publik akan hampir tidak ada. Pemerintah, tanpa pajak, ibarat sebuah mobil tanpa bahan bakar---tidak akan bisa bergerak untuk melayani rakyatnya.
Di sinilah letak esensi pajak sebagai kontrak sosial. Kita, sebagai warga negara, secara kolektif menyetorkan sebagian penghasilan kita kepada negara. Sebagai imbalannya, negara---yang merupakan representasi kehendak kita bersama---berkewajiban untuk mengelola dana tersebut guna menyediakan layanan-layanan dasar, membangun infrastruktur, menjamin keamanan, dan melindungi yang lemah. Pajak adalah tulang punggung dari kesejahteraan bersama.
Namun, opini negatif terhadap pajak bukannya tanpa alasan. Kritik utama dan yang paling valid adalah pada masalah akuntabilitas dan transparansi. Rasa "berat" membayar pajak akan berubah menjadi kepahitan jika dana tersebut dikorupsi, dikelola dengan tidak efisien, atau digunakan untuk proyek-proyek mercusuar yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Ketika jalan yang kita lewati masih berlubang, ketika layanan kesehatan masih buruk, sementara kita mendengar berita tentang korupsi anggaran, maka kepercayaan pada sistem pajak pun runtuh. Rasa keadilan juga kerap dipertanyakan, apakah sistem pajak kita sudah progresif dan memastikan bahwa mereka yang berkemampuan lebih besar memang memberi kontribusi lebih besar?
Oleh karena itu, perdebatan tentang pajak seharusnya tidak lagi berpusat pada "kenapa kita harus bayar pajak?", melainkan bergeser ke tiga hal utama:
Keadilan Sistem: Apakah sistem perpajakan sudah adil? Apakah tarif untuk korporasi besar dan individu berpenghasilan tinggi sudah proporsional? Apakah kita sudah menutup celah-celah penghindaran pajak yang hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang?
Efisiensi dan Efektivitas Penggunaan: Seberapa efektif pemerintah mengonversi uang pajak menjadi kesejahteraan yang nyata? Apakah dana pendidikan benar-benar menghasilkan generasi yang lebih cerdas? Apakah dana kesehatan membuat rakyat lebih sehat? Efisiensi ini akan langsung mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk membayar pajak.
Transparansi dan Akuntabilitas: Dapatkah kita, sebagai pembayar pajak, memantau ke mana uang kita mengalir? Apakah laporan keuangan pemerintah mudah diakses dan dipahami? Akuntabilitas adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI