Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Omnibus Law dan "Nggalap Menang"

8 Oktober 2020   08:37 Diperbarui: 8 Oktober 2020   08:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada dua kata mirip-mirip padahal maknanya berbeda, yaitu kata "galap" yang artinya keliru, dan "ngalap" (asal kata "alap") yang berarti "njupuk" (mengambil)  ataupun "ngepek" (bacalah seperti Anda mengucapkan kernet) yang artinya mendaku. Dari kata "ngalap" terbentuklah misalnya ungkapan "ngalap berkah" yaitu ikut-ikutan melakukan sesuatu dengan harapan memperoleh berkah; sedangkan dari kata "galap" terbentuklah idiom seperti judul di atas "nggalap menang."

Berbagai cara dapat dilakukan orang dalam rangka ngalap berkah, bahkan ikut-ikutan demo menolak Omnibus Law (OL) pun banyak pihak melihatnya sebagai "ritual" ngalap berkah itu. 

Betapa tidak? Kebanyakan orang (boleh dipastikan?) tidak tahu apa itu OL karena membacanya pun mungkin tidak dilakukan, namun ikut saja arus dan mungkin juga ikut-ikutan berteriak, siapa tahu di sana nanti sudah ada yang memikirkan logistiknya, dan lain-lain. Nah, contoh ini menunjukkan makna ngalap berkah dalam arti dapat rejeki karena ikut-ikutan melakukan sesuatu.

Beda ngalap berkah, berbedalah "nggalap menang," dan dalam konteks OL, idiom ini menjadi sangat tepat karena makna nggalap menang ialah "golek menange dhewe(-dhewe)" karena masing-masing pihak saat ini memang sedang menjustifikasi dirinyalah yang paling benar. 

Dalam arus justifikasi diri seperti itu, setiap pihak pasti melihat pihak lain, apalagi yang dianggap lawannya, pastilah pihak yang salah. Namanya saja golek menange dhewe; yahhhhh pastilah apa yang sudah diputuskan lewat mekanisme berkonstitusi oleh lembaga seterhormat dewan perwakilan rakyat pun, tetap dianggap salah oleh penentangnya, dan pihak penentang itulah yang merasa benar...nar....nar....nar.  Begitulah yang sedang terjadi hari-hari ini.

Pertanyaannya, mengapa nggalap menang sangat sering dipakai sebagai "senjata menyerang" mutakhir oleh pihak-pihak tertentu kepada pihak-pihak tertentu pula? Pertanyaan ini sudah menggambarkan adanya seolah-olah dua kepentingan yang (sengaja?) dipertentangkan, padahal kalau mau duduk bersama untuk membicarakannya, kepentingan yang hanya satu itu pasti tidak mungkin dipertentangkan. 

Apa kepentingannya? Dalam konteks OL, satu kepentingan itu ialah terciptanya kesejahteraan hidup bersama yang oleh Pemerintah (dan utamanya DPR) dihitung dan ditimbang secara cermat "hanyalah" mungkin dapat segera tercipta jika ada payung hukum berupa UU yang mengaturnya. Akan tetapi, hitung-hitungan itu dianggap "salah" oleh mereka yang menentang undang-undang OL dengan berbagai dalih dan hitung-hitungan mereka. Jadilah nggalap menang.

Siapa benar dan (sebenarnya) siapa salah dalam hal ini? Lagi-lagi, bila ditinjau dari "beradu kepentingannya" sehingga di satu sisi OL sudah diketuk sebagai undang-undang, namun di sisi lain penolakan atas keputusan itu sedang berlanjut; kita harusnya melihat secara jernih dan berkata: Tidak ada pihak yang salah dalam hal ini. 

Namun, mengapa ada saja yang nggalap menang, sehingga sesuatu yang pada hakekatnya tidak salah, disebut-sebut sebagai salah? Itulah dinamika demokrasi. 

Dalam sebuah dinamika, selalu saja ada pihak yang laju atau larinya lebih cepat dari pihak lainnya; namun atas nama demokrasi, pihak yang larinya tidak cepat (untuk tidak mengatakan lambat) sangat mungkin melontarkan protes atau keberatan; dan akumulasi dari itu semua terkumpullah dalam semangat nggalap menang tadi. Dengan kata lain, nggalap menang sangat boleh jadi dipilih sebagai strategi justru setelah sesuatu diputuskan dan bukannya dulu-dulu sebelum diputuskan. "Kalau di ujung depan sana gak seru dong, justru harus di ujung akhir ini," barangkali begitu logika yang dibangun.

Sekedar ilustrasi untuk menyimpulkannya, dalam kehidupan sehari-hari, sebut saja di tingkat rumahtangga kita masing-masing, iklim nggalap menang (ingat maknanya: golek menange dhewe) tumbuh manakala ada pihak yang merasa (a) diperlakukan tidak adil, (b) diremehkan posisi atau peranannya, dan (c) memang kalah. Luapan perlawanan yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa seperti a. b. atau pun c. tadi hanyalah satu, dan itulah bersikap golek menange dhewe. 

Ketika saya dulu di bangku SMP, sementara kakak-kakak saya sudah di SMA -padahal hanya ada dua sepeda di rumah- nggalap menang sangat sering kita lakukan dengan cara menyembunyikan kunci sepeda. Siapa lebih dulu "menguasai kunci," dialah yang pagi harinya berangkat sekolah naik sepeda. Dia yang kalah, ke sekolahnya jalan kaki atau harus memboncengkan jika searah.

Jadi, nggalap menang pasti akan berakhir, baik berakhirnya itu untuk sementara waktu ataupun mungkin untuk selanjutnya dan seterusnya. Pengalaman kami berebut (baca menang-menangan) pegang kunci pada akhirnya menemukan kesepakatan bersama, antara lain: Siapa pun yang pegang kunci maupun yang kalah, besok pagi harus bangun lebih awal agar berangkat ke sekolah dapat lebih awal. Mengapa harus lebih awal? Pemenang (pemegang kunci) besok harus rela mengantar ke lokasi yang paling dekat dengan sekolah si kalah (masih disambung jalan kaki), baru si menang meneruskan perjalanannya ke sekolahannya. Besok paginya rute bisa berubah tergantung siapa pemenangnya.

OL, karena sudah diputuskan, pastilah akan segera diimplementasikan; sementara itu saya yakin kondisi nggalap menang (kendati saat ini betul-betul sedang geger genjik) berangsur-angsur akan mereda, entah untuk jangka waktu lama ataupun singkat. 

Pada intinya, daya tahan orang itu pasti mengalami penurunan, karena itu siapa akan mampu bertahan lama-lama untuk demo terus, misalnya. Persediaan logistik juga bisa semakin menipis atau terbatas, karena itu siapa akan mampu terus-menerus menyediakan. Pada intinya, kita itu mengejar tujuan yang sama, yakni peningkatan kesejahteraan bersama, karena itu siapa akan mampu bertahan untuk berbeda pendapat terus lewat golek menange dhewe. Semua akan kembali normal.

Mari berlogika secara rasional saja, demikian: Tujuan baik (terciptanya peningkatan kesejahteraan bersama) harus (bahkan telah) dirumuskan dengan baik; dan akan dilaksanakan dengan baik manakala ada dukungan baik oleh siapa saja yang berkehendak baik.

-0-  

Oleh Tukiman Tarunasayoga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun