Sebuah Analisis Hukum, Diplomasi, dan Identitas Nasional
Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, September 2025, menimbulkan polemik di tanah air. Bukan isi pidato yang menjadi sorotan (meskipun isinya membahas isu vital seperti perdamaian Palestina, ketahanan pangan, dan krisis iklim) melainkan pilihan bahasanya.
Prabowo menyampaikan pidato "Indonesia's Call for Hope"(sila klik) sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Bagi sebagian kalangan, pilihan itu menyalahi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, yang menegaskan kewajiban pejabat negara menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato resmi.
Pertanyaannya, apakah tindakan ini benar-benar sebuah pelanggaran hukum, ataukah justru sesuai dengan fleksibilitas yang memang disediakan regulasi?
Membaca Perpres 63/2019 Secara Utuh
Perpres 63/2019 lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Undang-undang ini bukan sekadar aturan teknis, melainkan simbol politik bahasa: upaya negara memperkuat posisi Bahasa Indonesia sebagai perekat identitas dan sarana komunikasi resmi.
Dua pasal dalam Perpres ini menjadi kunci perdebatan.
Pasal 5 berbunyi:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Pasal ini sering dipahami secara tekstual. Pidato resmi berbahasa asing berarti melanggar.
Namun, Pasal 7 menyisipkan pengecualian penting:
(1) Dalam hal diperlukan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat menyampaikan pidato resmi dalam bahasa tertentu selain Bahasa Indonesia pada forum internasional.