Dari sudut pandang diplomasi, ini bukan sekadar pilihan bahasa, melainkan strategi komunikasi global.
Perspektif Historis: Dari Sukarno hingga Prabowo
Menarik untuk meninjau tradisi para pendahulu.
Sukarno pada tahun 1960 berpidato panjang di PBB dengan bahasa Indonesia. Pesannya monumental, tetapi butuh penerjemah. Sukarno ingin menegaskan identitas bangsa muda yang baru merdeka.
Soeharto pada dekade 1970-an hingga 1990-an lebih pragmatis. Ia beberapa kali menggunakan bahasa Indonesia, namun juga memberi ruang pada bahasa asing dalam forum bilateral.
Susilo Bambang Yudhoyono pada era 2000-an lebih sering menggunakan bahasa Inggris di forum internasional, terutama ketika berbicara tentang isu global seperti perubahan iklim.
Joko Widodo umumnya tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato di PBB, dengan bantuan penerjemah simultan.
Prabowo kini memilih jalur pragmatisme SBY, bukan simbolisme Sukarno. Ini mencerminkan perubahan zaman: dari menegaskan identitas bangsa baru merdeka menjadi berusaha efektif di tengah percaturan global.
Identitas Bahasa dan Persepsi Publik
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan simbol identitas. Karena itu, wajar jika sebagian masyarakat merasa tersinggung atau khawatir bahasa Indonesia dikesampingkan ketika Presiden berbicara dengan bahasa asing.
Namun, kita juga harus melihat persepsi global. Dalam diplomasi, bahasa adalah jembatan. Menggunakan bahasa Inggris tidak berarti merendahkan bahasa Indonesia, tetapi membuka jalan agar pesan Indonesia diterima dunia tanpa sekat bahasa.
Di sinilah muncul ketegangan antara nasionalisme linguistik (bangga bahasa sendiri) dan pragmatisme diplomatik (efektivitas komunikasi global).
Dimensi Politik Praktis
Pilihan bahasa juga sarat dengan kalkulasi politik.