Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apakah Prabowo Melanggar Perpres 63/2019 Saat Pidato di PBB?

29 September 2025   20:09 Diperbarui: 29 September 2025   20:09 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ranah domestik, Prabowo harus menjelaskan bahwa langkahnya sesuai hukum dan demi kepentingan nasional, agar tidak ditafsirkan melemahkan martabat bahasa.

Di ranah internasional, pidato ini adalah momentum penting. Indonesia kembali tampil setelah absen satu dekade. Menggunakan bahasa Inggris memastikan sorotan dunia jatuh pada substansi, bukan sekadar simbol.

Secara global, banyak pemimpin non-Inggris memilih jalur pragmatis serupa. Presiden Tiongkok tetap berbahasa Mandarin; Presiden Prancis memilih bahasa Prancis. Tetapi banyak pemimpin Global South menggunakan bahasa Inggris agar lebih efektif. Pilihan Prabowo menegaskan Indonesia berada di jalur pragmatis ini.

Sah secara Hukum, Tepat secara Diplomasi
Jika dibaca secara utuh, Perpres 63/2019 jelas memberi ruang bagi Presiden untuk menggunakan bahasa asing dalam forum internasional. Pasal 7 adalah pintu legal yang sah.

Dengan demikian, menurut saya:
Secara hukum, tidak ada pelanggaran. Perpres justru mengantisipasi kebutuhan diplomasi global.

Secara diplomatik, penggunaan bahasa Inggris memperkuat daya jangkau pesan Indonesia, menjamin efektivitas komunikasi, dan meningkatkan pengaruh di forum internasional.

Secara identitas, bahasa Indonesia tetap dipertahankan melalui dokumen resmi dan transkrip pidato, sehingga martabat bahasa tidak tereduksi.

Menyeimbangkan Kedaulatan dan Globalisasi
Kontroversi ini seharusnya mengingatkan kita pada pertanyaan lebih besar: bagaimana menyeimbangkan kedaulatan bahasa dengan tuntutan globalisasi?

Bahasa Indonesia tetaplah simbol persatuan bangsa, bahasa resmi negara, dan identitas kolektif. Namun, dalam diplomasi global, kita juga harus realistis. Pesan yang tidak didengar sama saja dengan pesan yang tidak pernah disampaikan.

Mungkin justru di sinilah letak kebijaksanaan Perpres 63/2019. Ia bukan instrumen kaku, melainkan aturan yang cukup lentur untuk menjaga martabat bahasa sekaligus memberi ruang manuver bagi diplomasi.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun