Pernahkah Anda merasa heran ketika orang lain memilih jalan hidup yang berbeda dari kebanyakan? Begitulah yang sering saya alami. Orang-orang, termasuk keluarga saya sendiri, kerap bertanya dengan nada penuh keheranan: "Kenapa kamu tidak jadi ASN saja? Itu kan lebih aman, lebih jelas masa depannya."
Saya tidak marah dengan pertanyaan itu. Saya paham, banyak orang memandang status ASN (Aparatur Sipil Negara) seperti sebuah mahkota. Gaji bulanan yang pasti, tunjangan yang jelas, pensiun yang dijanjikan. Semuanya terdengar manis, seolah menjadi jaminan hidup.
Di banyak tempat, orang yang menyandang status ASN diperlakukan dengan hormat. Sebagian masyarakat menempatkannya seolah kasta yang lebih tinggi. Maka wajar bila keluarga saya pun berharap saya ikut menapaki jalan itu.
Namun, biarlah hari ini saya bercerita jujur, kepada Anda yang membaca tulisan ini. Bukan untuk sombong, bukan untuk meremehkan siapapun yang memilih jalur ASN. Saya hanya ingin berbagi alasan mengapa saya tidak pernah, bahkan tidak sedikitpun, berminat jadi ASN.
Pertama-tama, saya harus akui: bukan berarti saya tidak mampu. Saya cukup cerdas, cukup pintar, dan tentu saja bisa kalau mau mencoba. Tapi bagi saya, masalahnya bukan soal mampu atau tidak mampu. Masalahnya adalah soal prinsip.Â
Saya punya garis batas yang tidak bisa saya langgar. Saya tidak suka menjilat hanya demi jabatan. Saya tidak mau suara saya dibungkam hanya demi kenyamanan posisi. Saya tidak bisa menutup mata, pura-pura buta, pura-pura tuli, ketika sesuatu tidak beres. Dan Anda pun tahu, di dunia ASN, suara seperti itu sering kali tidak laku.
Mari kita bicara jujur. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk naik posisi dalam birokrasi ASN, ruang KKN masih terbuka sangat lebar. Korupsi, kolusi, nepotisme, semua orang tahu, meski tak semua orang mau mengakuinya.
Ada orang yang kompeten, bekerja keras, bahkan rela mengorbankan banyak hal demi pelayanan. Tapi ketika tiba waktunya kenaikan jabatan, sering kali justru mereka yang punya kedekatan yang melesat. Bukan yang terbaik, tapi yang terdekat. Bukan yang paling cerdas, tapi yang paling pandai menjilat. Saya tahu, tidak semua begitu, tapi bukankah Anda pun sering mendengar kisah yang sama?
Di titik itu, saya sadar, saya tidak akan bisa. Saya tidak ingin menggadaikan integritas saya di meja pertemuan, hanya demi selembar SK jabatan. Saya tidak mau terjebak dalam sandiwara di mana kedekatan lebih bernilai daripada kemampuan. Karena bagi saya, integritas adalah segalanya. Jika itu hilang, apa lagi yang tersisa?
Saya lebih memilih medan yang keras tapi jujur. Saya lebih senang masuk ke dalam kompetisi yang fair dan terbuka. Saya ingin tahu: sejauh mana saya bisa melangkah, sejauh mana kemampuan saya bisa berbicara, tanpa harus bersandar pada permainan politik kantor. Saya suka tantangan meritokrasi. Mungkin jalannya lebih sulit, mungkin lebih terjal, tapi saya yakin hasilnya lebih murni, lebih jujur, dan lebih membanggakan.