Saya ingin mengajak Anda membayangkan sebuah negeri di mana para pejabatnya hidup seperti ksatria Jepang kuno, yaitu Samurai.
Bukan dalam arti memegang pedang atau memakai baju zirah, tetapi hidup dengan jiwa Samurai, yang kehormatannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri.
Di Jepang feodal, Samurai bukan sekadar prajurit. Mereka adalah pelindung, pelayan, dan penjaga keadilan. Mereka tahu, jabatan dan kekuasaan hanya titipan. Mereka siap kehilangan segalanya, asal nama baik tetap utuh.
Dan di titik ini, saya mulai bertanya-tanya: bagaimana jadinya kalau para pejabat negeri ini benar-benar berjiwa Samurai?
Samurai: Mengabdi, Bukan Menghisap
Samurai tidak pernah memandang rakyat sebagai ladang untuk dipanen. Mereka memandang rakyat sebagai kehormatan untuk dijaga. Mereka bekerja untuk tuannya, tapi tahu bahwa tuan sejati mereka adalah rakyat yang mereka lindungi.
Kalau pejabat kita berpikir seperti ini, mereka tidak akan sibuk membangun dinasti politik. Mereka akan sibuk membangun sekolah, rumah sakit, dan lapangan kerja. Mereka tidak akan berpikir bagaimana menambah masa jabatan, tapi bagaimana menambah kemakmuran rakyat.
Bushido: Kode yang Mengikat
Samurai hidup dengan Bushido, "Jalan Ksatria". Bukan sekadar aturan, tapi napas hidup mereka, antara lain:
Integritas (Gi), keberanian (Yu), welas asih (Jin), kesopanan (Rei), kejujuran (Makoto), kehormatan (Meiyo), dan kesetiaan (Chugi).
Bushido mengajarkan bahwa satu kebohongan bisa menghancurkan seluruh harga diri.
Tapi di sini, saya sering melihat kebohongan malah dipoles rapi dan dibungkus senyum untuk disajikan di televisi.