Pernahkah terbesit di benak kita, para Kompasianer, bahwa ada harta karun yang mungkin belum sepenuhnya kita gali di platform ini? Setiap hari, ribuan ide, opini, dan cerita dibagikan di Kompasiana, membentuk sebuah gudang pengetahuan yang luar biasa. Kita bangga menjadi bagian dari "penulis" yang berkontribusi.
Namun, di antara gegap gempita menerbitkan tulisan, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: sudahkah kita juga menjadi pembaca sejati di Kompasiana, atau justru kita melewatkan banyak hal berharga yang ada di depan mata?
Sebagai seorang Kompasianer, kita seringkali terbuai dengan euforia saat tulisan kita tayang. Ada kepuasan tersendiri ketika ide, riset, atau refleksi pribadi kita berhasil terangkum dalam sebuah artikel dan dipublikasikan. Kita bangga dengan label "penulis" yang melekat, dan seringkali meyakini bahwa setiap karya di Kompasiana adalah hasil pemikiran mendalam, penuh riset, atau setidaknya refleksi yang jujur.
Namun, di balik kebanggaan itu, muncul sebuah pertanyaan fundamental yang menggantung: Apakah kita, para penulis ini, benar-benar juga berperan sebagai pembaca yang aktif dan sejati di "tambang emas" bernama Kompasiana? Atau jangan-jangan, kita hanya sibuk menulis tanpa sempat membaca?
Seringkali, realitasnya terasa kontras. Ada kecenderungan di antara kita untuk hanya fokus pada proses menulis dan mempublikasikan. Setelah tulisan tayang, energi kita habis untuk memantau respons, atau bahkan langsung beralih ke ide tulisan berikutnya.
Interaksi dengan tulisan Kompasianer lain, jika ada, seringkali terbatas pada sebatas "like" atau komentar singkat yang terkadang tidak relevan, bahkan terkesan hanya sekadar basa-basi atau "balas kunjungan". Ini adalah indikasi kuat bahwa kita cenderung melewatkan esensi membaca yang sesungguhnya.
Ironi "Tambang Emas" yang Tak Tergali Penuh
Kompasiana sejatinya adalah sebuah "tambang" yang sangat kaya. Ia dipenuhi dengan ribuan artikel dari berbagai topik, ditulis oleh ribuan pikiran yang beragam. Ada analisis politik tajam, kisah inspiratif, riset ilmiah sederhana, opini kritis, hingga catatan perjalanan yang menghibur. Ini adalah sumber daya literasi dan pengetahuan yang luar biasa, sebuah perpustakaan raksasa yang terus bertumbuh setiap harinya.
Namun, jika para penulis hanya sibuk dengan karya mereka sendiri dan minim berinteraksi sebagai pembaca sejati, maka "tambang emas" ini tidak akan tergali sepenuhnya. Kita akan kehilangan banyak potensi:
- Hilangnya Perspektif Baru: Membaca tulisan orang lain membuka cakrawala. Kita bisa menemukan sudut pandang yang belum terpikirkan, bahkan tentang topik yang familiar sekalipun. Ini esensial untuk memperkaya pemikiran kita sendiri.
- Stagnasi Kualitas Tulisan: Bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas tulisan jika tidak belajar dari cara orang lain menyajikan argumen, merangkai kata, atau melakukan riset? Membaca adalah guru terbaik bagi seorang penulis.
- Komunitas yang Mandek: Kompasiana adalah sebuah komunitas. Jika interaksi hanya sebatas "like" kosong, maka diskusi tidak akan pernah hidup. Potensi kolaborasi, debat sehat, dan silaturahmi ide akan mati suri.
- Minimnya Apresiasi Berdasar: Apresiasi sejati datang dari pemahaman. Jika kita berharap tulisan kita dibaca secara mendalam, maka kita juga punya tanggung jawab moral untuk memberikan hal yang sama kepada Kompasianer lain.
Saatnya Penulis Berbenah Menjadi Pembaca Sejati