Dulu dapat diskon, sekarang wajib belanja dan bayar lebih. Beginilah rasanya berteman dengan Amerika.
Di dunia diplomasi dagang, tak semua persahabatan bersifat saling menguntungkan. Indonesia baru saja merasakannya, setelah puluhan tahun menikmati fasilitas bebas tarif dari Amerika Serikat (AS), kini produk ekspor kita harus rela dikenakan tarif impor sebesar 19%.
Sebagian menyebutnya kompromi. Sebagian lagi menyebutnya ketimpangan. Tapi satu hal pasti: harga dari berteman dengan AS ternyata tidak murah.
Diskon yang Kini Hanya Tinggal Kenangan
Dulu, banyak produk Indonesia masuk ke pasar AS tanpa dikenai bea masuk berkat skema Generalized System of Preferences (GSP). Ini semacam diskon dagang bagi negara berkembang, dan Indonesia termasuk yang menikmatinya sejak lama.
Namun segalanya berubah sejak era Presiden Donald Trump. Dengan semangat "America First", AS mulai meninjau ulang berbagai kesepakatan dagang, termasuk GSP untuk Indonesia. Bahkan sempat diusulkan tarif baru sebesar 32% untuk produk ekspor kita.
Mengapa?
Karena defisit perdagangan. AS merasa lebih banyak membeli dari Indonesia daripada sebaliknya.
Karena prinsip timbal balik. Produk-produk AS dianggap sulit masuk ke Indonesia.
Dan tentu saja, karena agenda proteksi. AS ingin melindungi industrinya dari gempuran produk luar.