Tahun ajaran baru dimulai, tapi di SD Negeri 134410 Tanjungbalai, suasananya lebih mirip bangunan pensiunan daripada sekolah. PPDB dibuka seperti biasa, spanduk dipasang, guru hadir, ruang kelas siap. Tapi murid baru? Tidak ada. Nol.
Bukan karena ditutup. Tapi karena tidak ada yang datang. Baca ini: SD Negeri 134410 Tanjungbalai
Pelaksana Harian Kepala Sekolah, Eka Damayanti Mingka, menjelaskan penyebabnya: jumlah anak usia sekolah menurun, orang tua lebih suka sekolah favorit, dan sebagian besar masyarakat Tionghoa di sekitar lebih memilih sekolah swasta.
Penjelasan ini terdengar logis. Tapi terlalu rapi untuk menyentuh masalah yang sebenarnya.
Bukan Kasus Langka, Ini Pola
Fenomena ini bukan kebetulan. Penurunan jumlah murid di sekolah negeri sudah lama terjadi. SDN 134410 hanya jadi contoh paling ekstrem: nol murid baru. Yang lain mungkin masih bertahan di angka 5, 10, atau 20 siswa, sementara jumlah guru tetap.
Kalau ini dibiarkan, bukan tak mungkin sebentar lagi ada sekolah yang jumlah gurunya lebih banyak daripada muridnya.
Penjelasan Demografis: Separuh Cerita
Benar, urbanisasi dan menurunnya angka kelahiran bisa berdampak. Tapi kalau jumlah anak memang menurun, mengapa sekolah swasta tetap ramai? Bahkan ada yang buka kelas tambahan.
Artinya, ini bukan sekadar soal jumlah anak, tapi soal kepercayaan.
Masalah Lama Tidak Pernah Diurus Serius
Berikut daftar penyakit lama di sekolah sejenis yang masih dibiarkan hidup:
1. Metode Pengajaran Kuno
Banyak sekolah negeri masih pakai sistem hafalan, ceramah satu arah, dan ulangan harian. Di luar sana, sekolah lain mengajarkan coding, public speaking, dan kolaborasi tim. Dunia berubah, tapi kurikulumnya masih nostalgia.
2. Branding Nol Besar
Sekolah swasta berlomba-lomba tampil di media sosial. Sementara sekolah negeri? Banyak yang bahkan tak tahu akun Instagram sekolahnya masih aktif atau tidak. Kalau masyarakat tidak tahu sekolah itu ada, bagaimana bisa mendaftar?
3. Tidak Ada Nilai Tambah
Sekolah negeri cenderung menawarkan yang "wajib" saja. Datang, belajar, pulang. Sementara sekolah swasta menjual program bilingual, kelas karakter, ekstrakurikuler kreatif, bahkan kelas agama dengan pilihan. Sekolah negeri kalah bukan pada biaya, tapi pada gagasan.
4. Hubungan Lemah dengan Komunitas
Berapa banyak sekolah yang benar-benar mendatangi warga? Berdialog? Menanyakan alasan mengapa anak-anak tak lagi bersekolah di sana? Banyak yang masih berpikir "kalau butuh, pasti datang". Padahal dunia sudah berubah. Konsumen tidak datang ke toko yang tidak membuka diri.
5. Lingkungan Tidak Nyaman
Beberapa sekolah negeri tampak seperti bangunan yang lelah: cat kusam, WC rusak, taman gersang. Sementara anak-anak zaman sekarang tumbuh dalam dunia yang visual dan interaktif. Jika sekolah tampak seperti kantor lama, ekspektasinya pun ikut redup.
6. Guru dan Orang Tua Tidak Terhubung
Di banyak sekolah negeri, relasi antara guru dan wali murid masih formal dan dingin. Tidak ada sistem komunikasi yang memadai. Tidak ada keterbukaan perkembangan anak. Padahal, orang tua sekarang ingin tahu setiap langkah pendidikan anaknya.
Ini Bukan Sekadar Bangku Kosong
SDN 134410 kini hanya punya 31 siswa aktif dengan delapan guru. Jika tidak ada perubahan, bangunan itu bisa berubah jadi museum mini pendidikan negeri yang gagal bersaing.
Yang lebih menyedihkan: kasus ini bukan satu-satunya. Dan jika tak ada langkah konkret, maka sekolah negeri perlahan hanya akan jadi formalitas administratif, hidup hanya di laporan, mati di lapangan.
Jika Tak Bisa Diselamatkan, Tutup Saja
Mari jujur. Tidak semua sekolah negeri harus dipertahankan. Kalau sekolah sudah kehilangan murid, kehilangan fungsi, dan kehilangan kepercayaan publik, lalu dipertahankan hanya karena "sayang bangunan", maka itu hanya memperpanjang napas sistem yang sudah koma.
Lebih baik ditutup, daripada jadi beban anggaran dan bahan basa-basi dalam rapat dinas.
Tapi sebelum ditutup, pastikan satu hal: kita memang sudah mencoba menyelamatkannya. Dengan serius. Bukan sekadar mengirim surat edaran atau mengecat ulang pagar.
Sebab jika tidak, maka yang gagal bukan sekolah itu. Yang gagal adalah kita, yang membiarkan sekolah mati pelan-pelan sambil sibuk menyusun strategi "rebranding" yang tak pernah diterapkan.
Sekolah negeri yang sepi bukan hanya soal murid yang tak datang. Itu tanda bahwa negara mulai kehilangan fungsinya dalam menyediakan pendidikan yang adil. Dan kalau dibiarkan, yang hilang bukan hanya bangku, tapi masa depan yang seharusnya milik semua, bukan hanya yang mampu bayar lebih.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI