Di atas laut bening tempat bayangan karang menari-nari, Raja Ampat selalu tampak seperti tempat yang tidak bisa disentuh waktu. Pulau-pulau kecil seperti dijahit oleh garis biru laut, dan langitnya seolah tak pernah lelah memberkati tanah ini dengan cahaya yang jernih. Tapi surga itu kini sedang dihitung dalam ton dan dolar. Di Pulau Kawe, bisik-bisik soal tambang kembali terdengar---dan tidak semua yang mendengarnya bisa tidur tenang.
Saya pertama kali membaca kabar ini seperti membaca kematian yang ditulis perlahan. Bukan karena tanah ini milik saya, tapi karena alam seperti ini milik semua yang mencintai kehidupan. Yang membuatnya pahit bukan sekadar soal tambang, tapi soal keputusan manusia ketika harus memilih antara keuntungan dan kelestarian.
Suara dari Akar: Ketika Adat Bicara
Yosep Matani berdiri di pinggir dermaga sambil menatap ke laut. Lelaki dari suku Maya ini sudah lama menyuarakan penolakan terhadap rencana tambang. "Kalau tanah ini hilang, kami hilang juga," katanya kepada saya dalam sebuah rekaman video pendek yang dibagikan oleh jaringan masyarakat adat Papua.
Bagi Yosep, tambang bukan hanya masalah ekonomi atau hukum. Ia adalah soal spiritual. Tanah-tanah yang kini dipetakan untuk eksplorasi nikel adalah tempat-tempat keramat dalam kosmologi sukunya. Hutan bukan sekadar hutan; ia tempat bersemayam roh-roh. Laut bukan sekadar laut; ia halaman depan rumah leluhur.
Ironi Nikel: Hijau di Barat, Luka di Timur
Dunia tengah berpacu menuju energi bersih. Kendaraan listrik dan baterai ramah lingkungan menjadi ikon harapan baru umat manusia. Dan nikel adalah salah satu bahan utamanya. Di sinilah ironi itu mulai: demi menyelamatkan iklim global, kita justru membahayakan ekosistem lokal yang paling murni.
Indonesia bangga menjadi pemain besar dalam industri nikel. Namun pertanyaannya: apakah semua tempat harus ditambang? Apakah kita rela menggali di tempat yang justru menjadi pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia?
Lisensi di Tanah Surga
Pulau Kawe, bagian dari Kabupaten Raja Ampat, telah lama memiliki jejak lisensi tambang. Pada 2008, izin eksplorasi diberikan, tapi sempat dibatalkan karena bertentangan dengan status konservasi. Kini, sebuah perusahaan tambang dikabarkan kembali menghidupkan izin lama itu, dengan dalih legalitas administratif.