Perlu diingat kembali, belakangan status guru PPPK memang menuai kritikan dari berbagai pihak. Mulai dari guru sendiri, PGRI, hingga pejabat lembaga negara. Dikritik karena dianggap mendiskriminasi profesi guru.
Letak diskriminasi yang dimaksud yakni guru PPPK tidak mendapat fasilitas tunjangan pensiun serta rawan terkena ancaman mutasi dalam waktu cepat ataupun dibebastugaskan.
Mutasi dan pembebastugasan bisa terjadi karena pada PP Nomor 49 Tahun 2018 tertuang jelas status guru PPPK tidaklah "seaman" guru PNS. Dapat dikatakan semacam pegawai kontrak dengan masa tugas terbatas.
Mungkinkah sebenarnya pemerintah mampu menyelesaikan masalah guru honorer tanpa harus mengorbankan cita-cita sebagian orang yang ingin jadi PNS?
Menurut saya, sesungguhnya mampu. Bukankah pemerintah pernah berjanji bahwa ke depan tunjangan pensiun bagi guru PPPK akan diperjuangkan sehingga tetap sama dengan guru PNS?
Kalau akhirnya perlakuan terhadap guru PPPK dan guru PNS dibuat sama, lalu untuk apa namanya dibedakan? Toh, fasilitas dan hak keuangan keduanya berasal dari APBN.
Maka hemat saya, persis dengan ramai diusulkan oleh banyak pihak, bahwa mestinya formasi guru skema PPPK hanya dikhususkan kepada para guru honorer yang usianya di atas 35 tahun. Sedangkan mereka yang berusia di bawah 35 tahun diberi jalur CPNS.
Atau kalau perlu, skema PPPK dibuat jadi "pilihan bebas". Maknanya, guru berusia di bawah 35 tahun mendapat keleluasaan memilih, skema CPNS atau PPPK. Mengapa bukan ini yang dirancang pemerintah supaya lebih adil?
Mudah-mudahan pemerintah masih punya waktu untuk mempertimbangkan usulan sederhana ini. Semoga juga diperjelas, "jangka pendek" yang dimaksud tadi berlangsung sampai kapan. ***