Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan featured

Konsekuensi Jika Status Kepegawaian KPK Diubah Jadi ASN

14 September 2019   22:26 Diperbarui: 16 September 2021   08:29 3099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima pimpinan (komisioner) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 telah dipilih oleh Komisi III DPR RI pada Jumat (13 September 2019) dini hari. 

Nama-nama yang berhasil lolos seluruh rangkaian seleksi tersebut antara lain Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Lili Pintouli Siregar dan Nawawi Pamolango. Firli terpilih sebagai ketua, sedangkan empat orang lainnya masing-masing sebagai wakil ketua.

Tidak hanya pemilihan komisioner baru, hal lain yang menjadi keputusan bersama antara pemerintah dan DPR RI adalah melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK).

Meskipun menuai pro dan kontra, kedua hal di atas sudah final, di mana yang tengah dilanjutkan prosesnya yakni mengenai revisi dan pengesahan UU KPK.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden Joko Widodo telah mengambil sikap bahwa beberapa draf usulan revisi diterima, yakni pembentukan dewan pengawas, perekrutan pegawai (penyelidik dan penyidik) yang berasal dari ASN (PNS atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja/ P3K), dan kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). 

Sementara usulan revisi yang ditolak adalah soal izin penyadapan yang memerlukan izin pengadilan, penyelidik dan penyidik hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, kewajiban berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan, serta pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK.

Presiden Jokowi mengaku tetap berkomitmen memperkuat keberadaan KPK dalam memberantas korupsi, dan telah mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR RI untuk membahas lebih lanjut revisi UU KPK bersama kementerian terkait.

Khusus pembentukan dewan pengawas, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa setiap lembaga negara mau dan mampu bekerja dengan prinsip check and balances.

"Ini saya kan Presiden, Presiden kan diawasi. Diperiksa BPK dan diawasi oleh DPR. Jadi kalau ada dewan pengawas saya kira itu sesuatu yang juga wajar. Dalam proses tata kelola yang baik," tutur Presiden Jokowi (13/9/2019).

Anggota dewan pengawas dipastikan berasal dari tokoh masyarakat, akademisi, dan pegiat antikorupsi. Yang lebih penting lagi bukan politisi, birokrat, aparat, maupun penegak hukum aktif. Pengangkatan dewan pengawas langsung dilakukan oleh presiden melalui tahap penjaringan panitia seleksi.

Kembali ke fokus bahasan tulisan ini, yaitu apa yang akan terjadi jika pegawai KPK berstatus ASN, baik mereka yang tengah menyandang status itu atau pun rekrutan baru lewat mekanisme umum.

Menurut penulis, status kepegawaian di KPK yang perlahan diubah menjadi ASN sangat penting dilakukan karena memang gaji dan biaya-biaya lain yang dibutuhkan berasal dari keuangan negara atau APBN. 

Terasa kabur bila orang-orang yang bekerja di KPK menerima uang negara sedangkan status mereka tidak jelas. Maka menurut penulis, beberapa hal berikut wajib dipertimbangkan kembali apabila betul status kepegawaian di KPK diubah, antara lain:

Pertama, seluruh pegawai KPK harus tunduk pada aturan kepegawaian umum yang berlaku. Oleh sebab itu mesti ada seleksi ulang dan ketat bagi pegawai yang ingin atau sedang bekerja di KPK. 

Menjadi pegawai di lembaga antirasuah tidak mudah, berintegritas tinggi, mesti memiliki semangat lebih dalam memberantas korupsi, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik, dan punya kedisiplinan tingkat tingga dibanding pegawai di lembaga-lembaga lain.

Kedua, para pegawai KPK nantinya wajib berseragam ASN agar statusnya gampang dikenal, utamanya mereka yang bekerja di kantor. Meskipun mungkin perlu juga ada semacam atribut khusus, misalnya pin atau sejenisnya.

Ketiga, gaji dan renumerasi yang diterima para pegawai KPK harus disesuaikan dengan aturan Kementerian Keuangan yang diberlakukan umum bagi seluruh pegawai yang digaji pemerintah.

Artinya, gaji para pegawai KPK yang selama ini disebut 18 kali lipat lebih besar dibanding ASN bakal turut berubah menjadi makin kecil. Sila cari daftar rinci besaran gaji untuk masing-masing pegawai KPK.

Keempat, tidak boleh lagi ada 'wadah-wadahan' pegawai di KPK. Seluruh pegawai wajib tunduk pada aturan yang berhimpun dalam wadah kepegawaian negara.

Kira-kira empat poin tersebutlah yang menurut penulis mau tidak mau harus dipertimbangkan untuk disesuaikan. Sila ditambahkan jika ada poin-poin lain.

Pertanyaannya, dengan berubahnya status kepegawaian di KPK, apakah nantinya orang-orang akan tetap berlomba-lomba mendaftar untuk bekerja di sana?

Bagaimana pula dengan penyesuaian besaran gaji yang akibatnya mengalami penurunan, apakah prinsip antikorupsi bakal tetap terpelihara di KPK? Karena memang salah satu alasan tingginya gaji pegawai KPK adalah supaya tidak ada yang korupsi.

Di sinilah persoalannya. Mudah-mudahan saja semangat antikorupsi (sebenarnya lebih lengkapnya anti KKN) pegawai KPK tidak pudar gara-gara tidak lagi 'sekenyang' dulu.

***

[1] [2] [3] [4] [5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun