Wabah virus corona makin sedang melanda seluruh dunia. Badan kesehatan dunia (WHO) telah menyatakan wabah ini sebagai pandemi. Belum ada obat untuk COVID-19. Untuk membunuh virus ini masih mengandalkan antibodi yang diproduksi oleh tubuh itu sendiri. Perlu waktu untuk membentuk antibodi tersebut.Â
Social distancing diteriakkan dimana-mana, sampai ada beberapa negara menerapkan lockdown demi memaksa warganya menjaga jarak satu sama lainnya.Â
Bahkan sistem kesehatan yang terbaik di negara maju pun belum sanggup mengimbangi kecepatan dan keganasan COVID-19 ini. Paling tidak belum sanggup hingga saat ini. Tempat tidur kurang, apalagi peralatan canggih di rumah sakit. Sedikit negara yang 'katanya' berhasil menaklukkan COVID-19, antara lain Korea Selatan dan Taiwan, Sedangkan negara lainnya, bisa dibilang kewalahan.
Di Indonesia sendiri, tidak berbeda dengan negara lain umumnya. Masuk di bulan kedua, angka penderita masih terus meningkat. Dengan tingkat kematian hampir 9%. Salah satunya dikarenakan slogan social distancing yang belum benar-benar dilaksanakan, masih ada saja orang-orang berkumpul ngrumpi karena merasa sama-sama sehat. Deteksi dini juga belum bisa dilaksanakan karena keterbatasan peralatan, sumber daya manusia dan dana.
Saat ini dari edaran yang dikeluarkan dari kementerian kesehatan, ada 3 istilah yang naik daun, OTG adalah orang tanpa gejala, ODP orang dalam pengawasan, dan PDP pasien dalam pengawasan.Â
Ketiganya adalah orang-orang yang memiliki "kontak erat". Kontak erat artinya pernah kontak dengan pasien positif COVID-19 2 hari sebelum hingga 14 hari sesudah si pasien timbul gejala. Dari edaran tersebut, ODP dan PDP dibiayai oleh negara yang artinya gratis berobat.Â
Pemeriksaan selama pengobatan pun gratis. Pemerintah baik hati sampai menyulap wisma atlit untuk menampung sekitar 400 ODP. Mereka disana untuk menjalani isolasi mandiri.Â
Semua ODP tadi diberi jatah makan 3 kali sehari, lengkap dengan snack. Dan air minum yang unlimited. Semua gratis. Baik kan? Kalau nanti ODP tadi memburuk, dia naik status jadi PDP, kemudian dikirim ke rumah sakit yang juga disiapkan khusus oleh pemerintah, kemudian akhirnya mereka di swab untuk memastikan diagnosis COVID-19.
Swab ini adalah pemeriksaan yang mampu menegakkan diagnosis COVID-19. Tidak semua orang ODP di wisma atlit di swab, mengapa? Ya itu tadi, keterbatasan sumber daya manusia (tidak semua orang terlatih melakukannya), dan keterbatasan dana (sekali pemeriksaan swab bisa menghabiskan 1,5 juta rupiah, dan rapid test antigen bisa hingga 11 juta), dan keterbatasan peralatan (maaf, kita belum mampu memproduksi sendiri, bila impor pun, terbatas... pandemi, ingat?)
Jadi pemeriksaan yang mudah ditemukan di pasaran Indonesia saat ini adalah Rapid Test antibodi (sekitar 500 ribu rupiah). Masalahnya antibodi baru terbentuk paling cepat setelah 6 hari tubuh terpapar virus. Jadi orang yang menganggap badannya negatif COVID-19, bisa tenang-tenang berkeliaran, lupa #dirumahsaja. Padahal masa inkubasi COVID-19 ini 14 hari, yang artinya bisa saja hasil tadi adalah negatif palsu.
Hebatnya warga +62 adalah keberaniannya terhadap penyakit, tidak takut kehilangan nyawa. Katanya umur sudah ada yang mengatur. Semua ikhlas bila harus dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.Â