Mohon tunggu...
Yudha Adi Nugraha
Yudha Adi Nugraha Mohon Tunggu... Penggiat Alam Bebas

Saya adalah seorang individu yang memiliki kepribadian yang ramah dan terbuka. Saya memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu tertarik untuk mempelajari hal-hal baru. Dalam waktu luang, saya menikmati membaca buku-buku non-fiksi, hukum serta teknologi dan saya sangat menyukai pendakian gunung. Saya menganggap kemampuan komunikasi sebagai kelebihan utama saya. Saya selalu berusaha untuk menjelaskan hal-hal dengan jelas dan dapat berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Sisi lain dari saya adalah bahwa saya bisa terlalu keras pada diri sendiri dan memiliki tendensi untuk mengabaikan istirahat dan keseimbangan hidup. Visi saya adalah untuk terus berkembang dalam karier saya dan menjadi seseorang yang berpengaruh. Saya juga ingin memanfaatkan kemampuan dan pengetahuan saya untuk membantu masyarakat dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penggunaan Gas Air Mata dalam Pembubaran Massa, Prespektif Hukum Internasional dan Indonesia

3 September 2025   07:48 Diperbarui: 3 September 2025   07:48 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/reli-di-jalan-dengan-tentara-mengenakan-helm-hitam-2833363/

Fenomena penggunaan gas air mata dalam pembubaran massa semakin meningkat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gas air mata, yang sering digolongkan sebagai senjata dengan daya mematikan lebih rendah (less-lethal weapon), kerap dijadikan pilihan oleh aparat kepolisian untuk mengendalikan kerumunan yang dianggap tidak terkendali. Namun, praktik ini menimbulkan perdebatan serius, baik dari segi legalitas maupun etika, terutama ketika penggunaannya menimbulkan korban luka bahkan kematian. Oleh karena itu, penting untuk meninjau penggunaan gas air mata, baik dari perspektif hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia, serta memperhatikan isu khusus mengenai penggunaan gas air mata kedaluwarsa yang berpotensi memperbesar dampak buruk bagi masyarakat.

Rumusan masalah yang dikaji dalam tulisan ini meliputi tiga hal: pertama, bagaimana hukum internasional mengatur penggunaan gas air mata dalam pembubaran massa; kedua, bagaimana hukum Indonesia mengatur hal tersebut; dan ketiga, apakah penggunaan gas air mata kedaluwarsa diperbolehkan menurut hukum. Tujuan kajian ini adalah menganalisis aspek legalitas penggunaan gas air mata dalam kerangka hukum internasional dan nasional, sekaligus memberikan evaluasi terhadap implikasi hukum penggunaan gas air mata kedaluwarsa. Gas air mata pada dasarnya adalah senyawa kimia iritan yang bekerja pada sistem pernapasan, mata, dan kulit. Senyawa yang paling umum digunakan adalah ortho-chlorobenzylidene malononitrile (CS), chloroacetophenone (CN), dan oleoresin capsicum (OC) yang berasal dari ekstrak cabai. Efek fisiologisnya meliputi rasa terbakar pada mata, batuk, kesulitan bernapas, mual, hingga kehilangan orientasi sementara. Meskipun dirancang untuk bersifat sementara, paparan dalam dosis tinggi atau pada kelompok rentan (anak-anak, lansia, penderita asma) dapat menimbulkan komplikasi medis serius.

Dalam konteks penegakan hukum, penggunaan gas air mata harus tunduk pada prinsip-prinsip umum penggunaan kekuatan. Prinsip proporsionalitas menuntut agar kekuatan yang digunakan sepadan dengan ancaman yang dihadapi. Prinsip kebutuhan mengharuskan penggunaan kekuatan hanya sebagai pilihan terakhir setelah upaya persuasif tidak efektif. Sedangkan prinsip akuntabilitas mewajibkan aparat untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan penggunaan kekuatan, termasuk memastikan adanya prosedur yang jelas dan mekanisme pengawasan. Secara internasional, pengaturan mengenai penggunaan gas air mata merujuk pada Konvensi Senjata Kimia 1993 (Chemical Weapons Convention/CWC). Pasal I ayat (5) CWC melarang secara tegas penggunaan agen pengendali kerusuhan, termasuk gas air mata, sebagai metode peperangan. Namun, CWC memberikan pengecualian dalam Pasal II ayat (9)(d) yang memperbolehkan penggunaan bahan kimia pengendali kerusuhan untuk tujuan penegakan hukum domestik, termasuk pengendalian kerusuhan massa. Dengan demikian, gas air mata dianggap sah sepanjang penggunaannya terbatas untuk penegakan hukum, bukan untuk tujuan militer.

Selain CWC, UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (1990) juga menjadi rujukan penting. Dokumen ini menegaskan bahwa senjata dengan daya mematikan lebih rendah, termasuk gas air mata, hanya boleh digunakan dalam situasi di mana cara-cara yang kurang berbahaya tidak efektif. Prinsip 14 menekankan larangan penggunaan kekuatan yang dapat membahayakan kelompok rentan, sedangkan Prinsip 9 mewajibkan agar kekuatan hanya digunakan ketika benar-benar diperlukan dan harus proporsional dengan ancaman yang dihadapi. Dalam yurisprudensi internasional, seperti putusan European Court of Human Rights dalam kasus Ali Gne v. Turkey (2012), penggunaan gas air mata secara sembarangan terhadap demonstran dinyatakan melanggar Pasal 3 European Convention on Human Rights mengenai larangan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Dalam hukum nasional Indonesia, pengaturan mengenai penggunaan gas air mata berakar pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 15 ayat (1) huruf a memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan tindakan dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (1) huruf l menyebutkan bahwa Polri berwenang melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, termasuk penggunaan alat pengendali massa seperti gas air mata.

Pengaturan yang lebih spesifik terdapat dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 3 menyebutkan bahwa penggunaan kekuatan harus didasarkan pada prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Dalam Pasal 5 diatur tahapan penggunaan kekuatan mulai dari kehadiran polisi, perintah lisan, kendali tangan kosong, kendali menggunakan alat (termasuk gas air mata), hingga penggunaan senjata api. Gas air mata ditempatkan dalam kategori "kendali dengan alat", yang hanya boleh digunakan ketika eskalasi massa tidak dapat lagi dikendalikan dengan cara persuasif. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengendalian Huru-Hara memberikan kerangka hukum lebih rinci. Pasal 9 PP tersebut menegaskan bahwa penggunaan kekuatan harus dilakukan secara bertahap dan proporsional, dengan mengutamakan cara-cara non-kekerasan. Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa penggunaan alat pengendali massa, termasuk gas air mata, hanya boleh dilakukan setelah ada peringatan yang jelas kepada massa. Pasal 11 menekankan larangan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan mewajibkan aparat untuk memperhatikan keselamatan masyarakat.

Apabila penggunaan gas air mata menyebabkan korban luka atau bahkan meninggal dunia, ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diberlakukan. Misalnya, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dapat diterapkan apabila terdapat bukti bahwa penggunaan gas air mata dilakukan secara tidak sah atau berlebihan hingga menimbulkan luka. Jika korban meninggal dunia, Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dapat digunakan. Hal ini menegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak kebal hukum dalam penggunaan kekuatan, termasuk gas air mata. Dalam praktik nasional, terdapat beberapa kasus yang menimbulkan sorotan publik terkait penggunaan gas air mata. Salah satunya adalah tragedi Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, di mana penembakan gas air mata ke arah tribun penonton menyebabkan kepanikan dan menewaskan ratusan orang. Kasus ini menimbulkan kritik keras karena melanggar prinsip-prinsip penggunaan kekuatan, baik dari segi proporsionalitas, akuntabilitas, maupun prosedural.

https://www.pexels.com/id-id/foto/massa-pengunjuk-rasa-memegang-tanda-4614164/
https://www.pexels.com/id-id/foto/massa-pengunjuk-rasa-memegang-tanda-4614164/

Isu khusus yang patut mendapat perhatian adalah penggunaan gas air mata kedaluwarsa. Secara kimiawi, senyawa seperti CS dan CN mengalami degradasi setelah melewati masa simpan tertentu. Degradasi ini berpotensi menghasilkan senyawa baru yang lebih toksik dan berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, pelontar gas air mata yang kedaluwarsa juga berisiko gagal fungsi, sehingga meningkatkan bahaya bagi aparat maupun masyarakat. Dari perspektif hukum, penggunaan gas air mata kedaluwarsa bertentangan dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang melekat dalam penggunaan kekuatan. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas kesehatan. Sementara itu, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Menggunakan gas air mata kedaluwarsa berpotensi melanggar kedua hak ini. Secara pidana, aparat yang menggunakan gas air mata kedaluwarsa dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 359 KUHP apabila mengakibatkan kematian, atau Pasal 360 KUHP apabila menyebabkan luka berat karena kelalaiannya. Secara perdata, korban dapat menuntut ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Dari sisi etika profesi kepolisian, tindakan tersebut juga melanggar prinsip akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perkapolri 1/2009.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara internasional, gas air mata dilarang digunakan sebagai senjata perang, namun diperbolehkan untuk penegakan hukum domestik dengan syarat ketat sesuai prinsip proporsionalitas, kebutuhan, dan akuntabilitas. Dalam hukum Indonesia, penggunaan gas air mata diatur secara jelas dalam UU Polri, Perkapolri 1/2009, dan PP 60/2017, dengan penekanan pada penggunaan yang bertahap, proporsional, dan mengutamakan keselamatan masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan masih adanya pelanggaran prinsip-prinsip tersebut. Penggunaan gas air mata kedaluwarsa jelas tidak dapat dibenarkan, karena melanggar prinsip kehati-hatian, menimbulkan risiko kesehatan serius, serta membuka kemungkinan pertanggungjawaban pidana, perdata, dan etik bagi aparat. Oleh karena itu, regulasi yang ada perlu diperkuat dengan mekanisme pengawasan yang lebih ketat, termasuk inventarisasi logistik alat pengendali massa agar tidak digunakan di luar masa layak pakai. Selain itu, perlu ada pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi aparat kepolisian mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam pengendalian massa. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan gas air mata harus dijamin, misalnya dengan mekanisme pelaporan publik setiap kali gas air mata digunakan. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan praktik penggunaan gas air mata di Indonesia dapat lebih selaras dengan standar hukum internasional dan menghormati hak asasi manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun