Bayangkan sebuah sore di sebuah kafe kecil yang nyaman di sudut kota. Musik jazz mengalun lembut dari speaker, menciptakan suasana santai yang membuat pelanggan betah berlama-lama. Pemilik kafe itu sudah membayar langganan Spotify Premium, berpikir bahwa biaya bulanan yang dibayarkan sudah cukup untuk membuat musiknya "legal" di telinga pelanggan. Namun, beberapa waktu kemudian, ia menerima pemberitahuan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bahwa ia wajib membayar royalti untuk setiap lagu yang diputar di kafenya. Kebingungan pun muncul: bukankah ia sudah membayar Spotify?
Untuk memahami jawabannya, kita perlu menelusuri kerangka hukum hak cipta di Indonesia. Menurut Pasal 8 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak ekonomi adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Hak ekonomi ini mencakup, antara lain, pertunjukan ciptaan, pengumuman ciptaan, dan komunikasi ciptaan sebagaimana disebut dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f, g, dan h. Artinya, setiap kali sebuah lagu diputar di ruang publik yang bersifat komersial, ada hak ekonomi yang melekat pada lagu tersebut. Inilah yang sering disalahpahami. Langganan Spotify Premium memang memberi izin kepada pengguna untuk mendengarkan lagu tanpa iklan dan mengunduhnya untuk penggunaan pribadi (personal use), tetapi tidak memberikan hak untuk melakukan public performance atau pemutaran untuk tujuan komersial. Hal ini ditegaskan dalam PP Nomor 56 Tahun 2021 Pasal 3 ayat (1), yang menyebutkan bahwa setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN.
Bentuk layanan publik komersial ini bahkan disebut secara eksplisit dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b PP 56/2021, yang mencakup restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek. Jadi, musik yang diputar di restoran atau kafe bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari strategi bisnis untuk menarik pelanggan dan memperpanjang waktu mereka tinggal, yang pada akhirnya meningkatkan omzet. Inilah yang membuatnya masuk kategori "penggunaan secara komersial" menurut hukum. Cerita menjadi sedikit berbeda ketika yang diputar bukan lagu, melainkan suara alam---misalnya kicauan burung, suara ombak, atau gemericik air. Jika suara ini direkam langsung dari alam tanpa ada pengolahan kreatif, maka menurut Pasal 41 huruf b UU Hak Cipta, suara tersebut bukan objek perlindungan hak cipta karena termasuk kategori "data" atau "temuan" yang tidak memiliki unsur ciptaan manusia. Namun, jika suara burung tersebut adalah bagian dari album yang diproduksi oleh produser fonogram dengan aransemen tertentu, maka berlaku Pasal 24 UU Hak Cipta yang memberikan hak ekonomi kepada produser fonogram untuk menggandakan, mendistribusikan, atau menyediakan fonogram kepada publik. Dalam kasus ini, royalti tetap harus dibayarkan.
Lalu bagaimana dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)? Banyak pelaku UMKM yang menganggap usaha mereka terlalu kecil untuk dikenakan kewajiban royalti. Namun, Pasal 11 ayat (1) PP 56/2021 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu atau musik, termasuk usaha mikro, tetap wajib membayar royalti. Bedanya, bagi usaha mikro diberikan keringanan tarif yang ditetapkan oleh Menteri. Artinya, ada pengakuan bahwa usaha kecil memiliki keterbatasan, tetapi kewajiban tetap ada. Meskipun demikian, dari perspektif hukum, ada argumentasi yang bisa digunakan untuk membela posisi UMKM agar dibebaskan sepenuhnya dari kewajiban ini. Salah satunya adalah dengan mengacu pada Pasal 44 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta, yang menyatakan bahwa pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dan tidak merugikan kepentingan wajar pencipta tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Jika musik di UMKM hanya digunakan sebagai latar tanpa memungut biaya tambahan, bisa dikatakan bahwa penggunaannya tidak merugikan pencipta secara signifikan.
Argumentasi kedua berasal dari asas proporsionalitas dalam hukum administrasi, yang mengajarkan bahwa beban kewajiban harus seimbang dengan kapasitas pihak yang dibebani. Memungut royalti penuh dari usaha dengan omzet sangat kecil bisa dinilai tidak proporsional dan bahkan kontraproduktif terhadap tujuan perlindungan UMKM yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Selain itu, Pasal 43 huruf d UU Hak Cipta membuka peluang pembebasan jika penggunaan lagu tersebut bersifat nonkomersial atau menguntungkan pencipta dan pencipta tidak keberatan. UMKM dapat berargumen bahwa pemutaran lagu di tempat mereka adalah bentuk promosi gratis, di mana musik menjadi lebih dikenal tanpa biaya promosi dari pencipta. Akhirnya, kebijakan diferensiasi yang sudah diatur dalam PP 56/2021 sebenarnya bisa diperluas. Jika saat ini keringanan hanya diberikan dalam bentuk pengurangan tarif, ada ruang kebijakan untuk membebaskan usaha mikro sepenuhnya, terutama yang omzetnya jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan UU UMKM.
Kembali ke cerita awal, pemilik kafe tadi akhirnya memahami bahwa Spotify Premium hanya mengatur hak mendengarkan untuk diri sendiri, sedangkan memutar musik untuk publik adalah domain yang berbeda dan diatur secara ketat oleh hukum. Ia juga menyadari bahwa jika kafenya tergolong usaha mikro, ia bisa mengajukan keringanan tarif atau bahkan mengadvokasi kebijakan pembebasan. Dari sini kita belajar bahwa musik bukan sekadar hiburan; ia adalah karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan diatur secara rinci oleh hukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI