Coba buka TikTok selama lima menit aja. Scroll-scroll dikit, pasti nemu video dengan backsound lagu sendu, lighting remang-remang, terus muncul teks yang katanya "quote" tapi bikin dada makin sesek. Contohnya begini:
"Kadang kamu cuma butuh sendiri, karena semua orang pergi ketika kamu butuh."
Atau yang lebih dramatis:
"Dia bukan pergi, kamu aja yang ngga cukup berarti buat dipertahankan."
Udah kayak novel wattpad campur drama Korea ya? Emang sih, awalnya kelihatan relatable. Tapi lama-lama kok kayak ada yang ngga beres? Kenapa banyak banget quotes yang malah mengafirmasi kesedihan seolah itu bagian dari identitas? Seolah-olah kalau kamu ngga galau, ngga merenung di tengah hujan, atau ngga punya trauma cinta, hidupmu ngga sah.
Nah, artikel ini ditulis buat kamu yang mungkin lagi sedih, atau mungkin juga udah muak lihat "quote-quote sendu" itu berseliweran tiap buka TikTok.
Sad Boy/Sad Girl Culture: Antara Validasi dan Konsumsi Emosi
Kita mulai dari fakta bahwa manusia itu makhluk emosional. Ngerasa sedih? Wajar. Ngerasa kecewa? Normal. Tapi yang jadi masalah adalah ketika kesedihan itu terus dipelihara, dibesarkan, bahkan dijadikan bagian dari identitas.
Quotes di TikTok seringkali ngga cuma sekadar ungkapan, tapi kayak sengaja diciptakan buat bikin kamu tenggelam dalam emosi. Padahal, banyak dari quotes itu bukan datang dari pengalaman pribadi pembuatnya, melainkan hasil editan, contekan dari akun lain, atau bahkan AI-generated. Tapi karena disajikan dengan musik yang pas, video yang slow motion, dan narasi yang menyentuh, jadilah ia terasa dalam. Bahkan kadang lebih dalam dari pemahaman kita sendiri tentang luka kita.