Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Siasati Macet Jakarta, Jangan Hanya Fokus ke Angkutan Umum

22 Maret 2014   00:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:38 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Macet di Jakarta adalah masalah klasik, dari zaman bang Yos (Sutiyoso), Foke, hingga Jokowi macet bukannya makin reda, malah makin merajalela. Saya sendiri yang merupakan pelanggan setia KAI Indonesia, tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, apalagi karena jalur saya bebas macet dan KAI sekarang enaknya sudah mirip kereta eksekutif, hehehehehehe.....kecuali tentu saja, kalau ramai dan terjepit. Curhat sedikit : saya introvert dan berbadan besar, kontak fisik adalah hal yang saya tidak senangi dengan orang yang belum saya kenal.

But enough with me, mari balik ke masalah di judul, apa sih penyebab macet jakarta? Jakarta ini hiper metropolitan, negra ibukota dan metropolitan terbesar di Indonesia, semua ada di Jakarta kata mereka, tapi sisi buruk Jakarta ini banyak, dibalik kemegahan gedung pencakar langit, terdapat masalah macet di Jakarta.

Saya lihat, Bang Yos yang sukses meningkatkan efisiensi dengan mecanangkan bus legendaris, Busway gagal mengatasi kemacetan Jakarta, meskipun saya anggap Bang Yos potensinya dibawah Jokowi, saya anggap Bang Yos adalah gubernur yang paling serius menangani kemacetan. Foke, saya rasa kurang peduli dan terlalu berfokus pada planning yang tidak kunjung selesai. Sementara Jokowi saya rasa terlalu tradisional dan trusting pada rakyatnya. Solusi Jokowi adalah konvensional, dan maaf, obsolete atau kuno.

Karakteristik Jokowi yang lebih menuntut masyarakat mandiri dan sadar, menumpuk banyak percaya pada rakyat saya rasa kurang berhasil. Mulai  periode tahun ini, Jokowi mulai men-suapi rakyat, mungkin dia tahu bahwa rakyat perlu dikontrol. Karena ini adalah sifat dasar orang, saya tidak mau komen.

Jokowi tampaknya di solo dan jakarta masih cenderung trusting.Jokowi seperti hanya memberikan dorongan dan sepeda saat mengajari anak2 anda. Sisanya, karepmu.

Nah ini yang saya khawatirkan, Jokowi hanya fokus pada detail revitalisasi angkutan umum seperti busway, buat Monorail atau MRT, apakah itu baik dan bagus? Tentu saja. Tapi Jokowi harus juga melihat ke depan, apakah hal itu akan bermanfaat atau jadi angin lalu seperti Railbus Batara.

Konsep penanggulangan macet harus dilakukan dengan pandangan ke masa depan, dimana apakah akan efektif atau tidak, bisa saja yang menggunakan MRT atau monorail akan sedikit karena permasalahan biaya, perusahaan yang mengoperasikan angkutan umum, atau memang karena hal yang penting : Kebiasaan Mengandarai Mobil Pribadi.

Saya naik KRL, papa saya kerja naik mobil, dan mama saya tiap hari pergi jemput adik saya menggunakan mobil juga. Kenapa papa saya tidak mau naik angkutan umum? Capek dia bilang. Karena kerjanya di serpong, dan busway penuh terus, dan juga sulit cari transport yang murah ke sana, biayanya lebih mahal, mending naik mobil. Itu yang jadi concern saya. Selain membaguskan dan meningkatkan angkutan umum, Jokowi perlu cara yang sangat efektif untuk mengurangi arus mobil. Dan tentu saja, karena terbiasa, papa saya mungkin sudah malas naik angkutan umum lagi.

Hal ini memerlukan perhatian tinggi, setidaknya untuk ke depan. mengurangi secara instant, 2-3 tahun misalnya, mustahil. Siapapun, dengan cara yang sesuai protokol tidak mungkin menghilangkan macet Jakarta . Tapi misalnya ada cara jangka panjang, seperti ERP yang diberitakan massal media, hal itu dapat efektif.

Yang masalah adalah kekerasan kepala pengguna mobil, apakah benar akan berkurang sesuai target? Proyek ERP idealnya dilaksanakan saat MRT, Monorail, Busway, Bus biasa, dan lainnya sudah matang, agar orang lebih mau menggunakan angkutan umum. Dengan kekerasan kepala saya, saya akan tetap naik mobil, meski ada ERP. Karena naik busway ga jauh beda, tetap macet, mungkin hanya KAI. Itupun tidak dapat mengangkut semua orang yang mau bekerja atau melakukan aktivitas di Jakarta. Jadi law enforcement harus tinggi pula, apalagi pada ERP. Mungkin ERP ini idealnya dipraktikan seperti Toll, sehingga tiadk ada korupsi, kongkalikong, atau yang lain. Dan tidak perlu install, karena repot, kemungkinan kartu seperti E-Toll yang diperlukan. Tentu saja, denda harus besar.

Solusi yang lain lagi adalah pembangunan perusahaan bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah rural (pinggiran) seperti Depok, Bogor, Bandung, dsb, dsb. Meskipun ada perusahaan di depok, bogor, dan lainnya, ekonomi di situ belum cukup maju untuk investasi perusahaan besar, karena daya beli yang relatif, pasti lebih rendah dari di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun