Aku mencoba tersenyum, dan untuk pertama kalinya dalam lama, senyum itu terasa otentik, bukan paksaan. "Aku merasa bisa terbang," jawabku. "Seperti dulu, sebelum semua ini."
Matanya berbinar, berlinang. Dia tahu. Dia bisa merasakan ini bukanlah tanda membaik. Ini adalah kejernihan terakhir yang kupahami tadi.
Dan tiba-tiba, di puncak kejernihan itu, sebuah kesedihan yang begitu dalam menyergapku. Itu lebih menyakitkan daripada semua rasa sakit fisik yang pernah kurasakan.
"Maafkan aku," desisku, suaraku pecah. Air mata panas mengalir tanpa henti. "Aku sungguh-sungguh minta maaf."
Dia membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan yang digenggamnya. "Untuk apa kau minta maaf?"
"Untuk semua ini. Untuk janji yang kupasang tapi tak sanggup kugenapi. Aku berjanji akan membuatmu percaya lagi, akan menemanimu melihat dunia, akan menyenangkanmu. Tapi... lihatlah aku. Aku justru menjadi beban. Aku pergi dan meninggalkanmu sendirian, membawa serta sebagian jiwamu. Aku minta maaf karena tidak bisa menjadi penyembuh untukmu."
Dia mengangkat kepalanya. Ada sebuah kekuatan yang luar biasa dalam air matanya. "Kau sudah melakukannya," katanya dengan lembut tapi pasti. "Setiap detik bersamamu adalah penyembuhan. Setiap tawamu, meski dibayangi rasa sakit, adalah musik bagi telingaku. Setiap keberanianmu melawan ini semua mengajariku untuk tidak takut. Kau memberiku cinta yang murni. Itu lebih dari cukup. Itu lebih dari yang pernah kubayangkan."
Aku mendengarnya. Aku merasakan kebenaran dalam kata-katanya hingga ke relung jiwaku yang paling dalam. Ruangan itu sunyi, hanya ada kami dan detak jantungku yang semakin pelan, semakin lemah.
Rasa ringan itu semakin kuat, menarikku. Aku merasa batas antara tubuhku dan udara di sekitarku mulai kabur.
"Aku mencintaimu," bisikku, menghabiskan sisa napas yang kumiliki untuk mengucapkan tiga kata terpenting itu. "Lebih dari semua bintang yang kau hitung untuk menidurkanku dulu."
"Aku juga mencintaimu," balasnya, menitikkan air mata ke tangan kami yang masih bergandengan. "Selalu."