Aku dan rasa sakit sudah seperti kekasih lama. Kami saling mengenal dengan intim. Aku tahu setiap kapan dia akan datang menari-nari di sumsum tulangku, merayap pelan seperti kabut, lalu tiba-tiba menyala menjadi lautan api yang menghanguskan setiap sudut keberadaanku. Leukimia. Kata yang dulu begitu asing, kini adalah identitasku yang paling nyata.
Tapi pagi ini, sesuatu berbeda. Kabut itu tiba-tiba tersibak. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, pikiranku jernih bagai kaca. Aku bisa merasakan kain selimut yang kasar, mendengar desis lembut AC, dan melihat butir-butir debu berputar dalam sinar matahari yang menyelinap dari jendela. Aku merasa... ringan. Seperti sebuah balon yang siap terbang.
Lalu kusadari: ini adalah kejernihan terakhir "Terminal Lucidity". Saat tubuhku akhirnya berdamai dengan derita yang tak tertahankan, saat ia memahami bahwa pertempuran ini telah mencapai garis finis. Sisa-sisa energi yang kumiliki berhimpun bagai kumpulan kunang-kunang terakhir, berkumpul bukan untuk berperang lagi, melainkan untuk mengantarku berpamitan dengan penuh kesadaran. Seluruh sel dalam tubuhku berbisik pelan: "Ini akhir perjuangan kita. Mari kita gunakan sisa tenaga ini untuk menenangkan pikiran, dan memanggil pulang semua kenangan indah yang pernah kita simpan."
Maka, alih-alih melawan, energi terakhir ini mengalir lembut seperti anak sungai yang kembali ke laut. Tubuhku yang telah setia menemaniku bertahun-tahun akhirnya mengucapkan selamat tinggal dengan cara yang paling halus: "Terima kasih telah bekerja sama dengan kami. Mari kita pergi dengan tenang."
Dan di sana, di kursi kayu dekat tempat tidurku, duduk seseorang. Dia.
Kami tidak lama bersama. Waktu kami singkat, mungkin hanya sekejap dalam ukuran cinta yang lain. Tapi dia datang seperti musim semi yang tiba-tiba meletus di tengah padang pasir kekeringan jiwaku. Dia adalah kekasihku yang baru bertemu, tapi rasanya seperti telah mengenalnya dari ribuan kehidupan yang lalu.
Dia menggenggam tanganku. Tangannya hangat, sebuah kontras yang nyata dari dinginnya tubuhku yang terus menggigil. Dia tidak banyak bicara. Dia hanya duduk, memberiku kehadiran yang solid, sebuah angan yang nyata di tengah mimpi burukku.
Aku tahu tentang lukanya. Aku bisa melihat bayangannya tersimpan di balik senyumnya yang selalu berusaha kuat untukku. Dia adalah kumpulan puisi sedih yang belum selesai, dan aku begitu ingin menjadi bagian yang menggenapkan puisinya, memberinya irama yang riang, kata-kata yang penuh cahaya.
Tapi nasib berkata lain. Aku justru menjadi luka barunya.
"Kau terlihat sangat cerah hari ini," bisiknya, suaranya seperti aliran sungai yang menenangkan.