Mohon tunggu...
Tri Susanti
Tri Susanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Anak manusia sama seperti kalian, dengan pemikiran yang acapkali membuat gila diri sendiri. Dengan bantuan kawan-kawan di Kompasiana semoga Ananda Supardi ini bisa mendapatkan kewarasannya kembali sehingga membuat gadis dalam cermin tersenyum kembali ^_^

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mensyukuri Kebersamaan

17 Oktober 2013   19:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:24 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13820139481580515408

Hidup mengajari saya banyak hal, hidup yang sudah saya jalani selama 22 tahun ini memberikan berjuta warna dalam keseharian saya. Memberikan berjuta rasa. Hidup yang saya jalani ini sering kali terasa getir memang, tapi bukan karena sulit untuk dijalani tapi getir ini muncul saat saya melihat dengan hati saya bahwa pahlawan-pahlawan saya menjalani hidupnya dengan ikhlas. Getir ini ada rasa sedikit pedih dan perih entah mengapa hanya hati saya yang tahu. Mungkin justru ini yang dikatakan rasa syukur yang teramat dalam dari lubuk hati saya. Aneh, mengapa mensyukuri kebersamaan yang terjalin bertahun-tahun bersama pahlawan-pahlawan saya kok bisa terasa getir ? Bagaimana tidak, sedari kecil hidup sudah merupakan perjuangan yang nyata bagi saya dan pahlawan-pahlawan saya. Melihat mereka bermandikan keringat setiap hari adalah pemandangan yang biasa bagi saya, berbagi lelah adalah sebuah kenormalan yang senormal-normalnya. Pahlawan pertama saya adalah ayah saya, beliau sudah tenang dalam kasih Tuhan saat ini. Ayak sosok yang kuat membangun karakter saya, bisa dikatakan setiap nasihat ayah begitu melekat dalam hati saya. Ayah adalah sosok yang setia, beliau setia menjaga anak-anaknya tanpa sedetikpun meninggalkan kami, susah senang kami lalui bersama. Tentu saja banyak sekali kenangan akan sosok beliau di ingatan saya salah satunya ketika pertama kali saya dan ayah saya berdua merintis jualan soto kami di depan masjid PUSDAI Jabar. Kala itu kondisi perekonomian kami sedang pailit, dengan modal seadanya yang saya tidak ingat berasal darimana. Berjualan soto ayam gombong dengan "buleng" kecil yang sudah penyak penyok termakan waktu, dengan gelas yang berbeda ukuran (besar dan kecil) dengan jumlah yang sedikit yang merupakan gelas yang terdapat di rumah (sehingga di rumah tidak meninggalkan satupun gelas), dengan mangkuk dan piring yang berbeda warna, dengan tenda hasil buah tangan ayah yang dia jahit sendiri dari beberapa potongan tenda yang dijadikan satu. Kala itu yang saya ingat adalah hujan turun membuat lapak jualan kami menjadi becek, tapi Tuhan tetap memberikan rezekinya beberapa konsumen masuk ke tenda kami. Masih teringat betapa indah senyum Bapa kala itu, akhirnya setelah beliau sembuh dari sakitnya beliau bisa kembali menjadi tulang punggung keluarga kami dengan berjualan soto. Sejak saat itu usaha berjualan soto kami semakin berkembang, hingga setiap hari jum'at kami sekeluarga (saya, ayah saya dan kedua kakak saya) harus terjun bersama dibantu dengan seorang teman sekolah saya untuk melayani pelanggan kami yang banyak mengantri makan siang selepas sholat jum'at. Sejak usaha jualnya maju saya melihat ayah kembali ceria dan bisa berangsur-angsur lebih sehat, namun yang membuat saya getir, saya melihat besar peluh ayah saya dan kedua kakak saya yang mereka keluarkan setiap hari sangatlah mengiris hati. Keringat mereka keluarkan bersama senyum ketulusan. Kala itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Selama beberapa tahun keadaan berjalan baik, hingga suatu saat yang saya takutkan terjadi, yaa ayah saya yang beban hidup serta beban fisiknya terlalu besar setiap hari akhirnya kembali jatuh sakit, dimulai dari gangguan fungsi organ hingga komplikasi. Akibat dari lelah dan letih dalam usahanya membiayai kami dan menjagai kami yang tidak pernah dia rasa akhirnya melemahkan tubuhnya juga. Dalam kondisi apapun ayah saya selalu menjadi pahlawan bagi saya, karena beliaulah yang selalu bicara dengan hatinya, beliau yang mengajarkan lewat tindakan. Menjaga dan merawat dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan tanpa didampingi seorang istri memerlukan kecintaan yang besar dan tulus pada keluarga dan beliau melakukannya dengan SETIA tanpa meninggalkan kami sekalipun sedetikpun. Ada satu cerita yang bila mengingatnya selalu membuat hati saya tergetar, kala itu saya mahasiswi tingkat pertama, kuliah di POLBAN tahun pertama itu memang menantang, adakalanya saya pulang jam 11 malam karena urusan himpunan, hampir setiap hari seperti itu. Pernah satu malam saya pulang pukul 11 malam dan dijemput oleh kaka saya, saat sampai di rumah ternyata ayah saya belum tidur dan beliau melihat wajah saya yang begitu lelah. Saat itu ayah bertanya apa saya sudah makan dan saya jawab jujur belum. Saat itu di rumah tidak ada makanan apa-apa hanya ada nasi dan gule jualan kami, tapi saya benar-benar tidak terpikir untuk makan sama sekali yang terlintas di benak hanya segera tidur karena mata dan tubuh sudah begitu lelah hingga aku pun berangkat tidur tanpa makan malam. Pagi harinya saya didatangi kakak tertua saya, dia bilang semalam ayah tidak tidur karena memikirkan anak gadisnya yang belum makan, kaka saya melihat beliau melamun dengan raut wajah yang sedih tak terperi dengan berulang-ulang mengatakan bahwa saya belum makan, ayah terlihat seperti tidak dengan kesadarannya. Pahlawanku yang satu ini, memang hanya sesosok pria biasa. Banyak waktu yang beliau lalui dengan kondisi sakit buah dari beban fisik dan beban pikiran serta beban tanggung-jawab yang besar. Ayah memang tidak memberikan kami materi layaknya ayah ayah lain yang memanjakan anak-anaknya dengan baju bagus, tas bagus, sepatu baru, motor keluaran terbaru, ponsel dan lain-lain, namun lebih dari itu ayah memberikan seluruh hidupnya bagi kami UTUH. Kebersamaanku bersamanya yang hanya kurasakan selama 19 tahun aku syukuri Tuhan namun tetap dengan kegetiran yang nyata. Getir saat ku ingat apa yang beliau beri untukku apa yang beliau korbankan untukku. Lebih getir lagi saat aku sadar belum sempat aku berikan apa-apa untuk ayah. Bila ada satu hal yang patut kita ingat hingga waktu yang lama, maka alangkah baiknya ingatlah kebaikan yang diberikan orang lain pada kita, ingatlah dengan baik setiap detailnya agar kita selalu ingat bahwa hidup yang Tuhan beri itu penuh cinta. Catatan harian ini akhirnya ada buah dari rindu tebal yang aku rasa. Malam ini 17 Oktober 2013 kembali kurasakan kegetiran itu. Hanya doa yang bisa kukirim untukmu Pahlawanku. Melalui catatan harian ini saya ingin mengajak sahabat sahabat kompasioners untuk mengingat kembali kebaikan serta pengorbanan apa saja yang telah pahlawan-pahlawan kita beri dan usahakan untuk diri kita. Malam hari ini baru satu sosok pahlawan dalam hidupku yang aku bagi ceritanya untuk teman-teman. Mungkin di lain kesempatan aku akan ceritakan pula tentang rasa syukurku dan kegetiranku atas kebersamaanku bersama pahlawan-pahlawanku yang lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun