Dokter Ronny mengangguk, ia memeriksa Tisya dengan seksama. Fika memperhatikan setiap gerakannya. Tangan dokter itu terasa dingin saat menyentuh kulit Tisya, dan ekspresinya tetap sama, tenang dan tak terbaca. Setelah selesai, ia kembali duduk di kursinya, mengambil resep, dan menuliskan nama obat di sana.
"Ini resep obat penurun panas yang lebih kuat. Tolong ditebus. Dan saya minta Tisya melakukan pengecekan darah. Kita lihat hasilnya," ujarnya singkat, sambil menyerahkan kertas resep kepada Fika.
Fika memegang kertas itu, hatinya merasa aneh. Dokter Ronny tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Ia hanya menyuruh mereka untuk melakukan tes darah.
Beberapa jam kemudian, setelah Tisya menjalani tes darah, mereka kembali ke ruangan Dokter Ronny. Dokter itu mengamati hasil lab Tisya di layar komputernya. Wajahnya tetap tenang, tetapi Fika melihat matanya berkedip sedikit lebih cepat.
"Ini hasilnya sudah keluar, Dok?" tanya Fika tak sabar.
Dokter Ronny hanya mengangguk, lalu mengambil secarik kertas lain. Ia menuliskan sebuah nama di atasnya. "Dokter Gunawan Sp.A(K) KHOM., dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi."
Fika mengerutkan dahi. Nama itu terdengar asing dan menakutkan. "Bu Fika, saya merujuk Tisya untuk diperiksa lebih lanjut oleh Dokter Gunawan," kata Dokter Ronny, suaranya terdengar lebih serius. "Saya akan buatkan surat rujukan. Beliau orang sibuk, jadi akan lebih cepat ditangani dengan surat rujukan ini. Dan tolong bawa hasil cek darah barusan."
"Eh, tapi, Tisya sakit apa ya, Dok? Kenapa sampai dirujuk ke spesialis seperti ini? Hasil labnya bagaimana?" tanya Fika, nada suaranya mulai putus asa. Ia ingin kejelasan. Ia ingin tahu apa yang terjadi pada Tisya.
"Dokter Gunawan yang akan menganalisa lebih dalam, Bu Fika. Beliau lebih punya hak untuk berbicara dan memberitahukan kepastian hasilnya." Dokter Ronny hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Ia menggoreskan penanya di atas kertas, lalu memberikan surat itu pada Fika.
Seorang suster, Suster Vera, masuk ke dalam ruangan. "Bu Fika, mari saya bantu untuk membuatkan jadwal dengan Dokter Gunawan," ujarnya dengan nada lembut.
Fika mengangguk, mengambil surat rujukan dari tangan Dokter Ronny. Hatinya terasa remuk. Kenapa ia tidak bisa mendapatkan jawaban? Kenapa ia harus menunggu lagi? Suster Vera memberitahu mereka bahwa jadwal konsultasi baru bisa didapatkan minggu depan. Menunggu seminggu tanpa kepastian adalah hal yang terasa sangat lama bagi Fika. Ia menatap Tisya yang kini dipapah ibunya, wajah Tisya tampak pucat dan lelah.