Episode 6: Firasat yang Tak Berani Dihadapi
Tiga hari berlalu, namun demam Tisya tak kunjung reda. Suhu tubuhnya naik-turun, membuat Fika semakin panik. Keceriaan putrinya yang biasa memenuhi rumah kini digantikan oleh tubuh yang lunglai dan wajah yang pucat pasi. Tisya menolak semua makanan, bahkan kentang goreng kesukaannya yang Fika belikan di pedagang favorit Tisya. Berat badannya turun drastis, membuat Fika merasa firasat buruk semakin mencekam.
"Tisya, ayo makan sedikit saja, ya? Mama suapin," bujuk Fika, memegang sendok berisi bubur.
Tisya hanya menggeleng lemah, matanya terpejam. "Tisya enggak mau, Ma. Perut Tisya mual."
Fika menghela napas, ia memandang ibunya yang duduk di samping Tisya, raut wajahnya juga terlihat sangat khawatir. Fika lalu mengambil keputusan. "Bu, ayo kita ke rumah sakit lagi. Kali ini kita ke spesialis penyakit dalam, seperti yang disarankan dokter kemarin."
Ibunya mengangguk setuju, mengusap lembut kening Tisya yang panas.
Mereka pun tiba di rumah sakit. Setelah menunggu beberapa lama, nama Tisya dipanggil. Fika, ibu Fika, dan Tisya memasuki ruangan Dokter Ronny. Ruangan itu bernuansa cokelat kayu yang hangat, tetapi hati Fika terasa dingin. Dokter Ronny, seorang pria paruh baya dengan kacamata berbingkai tipis, tampak tenang dan pendiam. Mimik wajahnya datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Selamat sore, Bu Fika. Silakan duduk," sapanya dengan suara pelan. "Jadi, bagaimana keadaan Tisya?"
Fika menjelaskan kronologi yang dialami Tisya dengan detail, dari audisi hingga demam yang tak kunjung sembuh. "Kami sudah coba obat penurun panas, Dok. Tapi demamnya naik lagi. Tisya juga enggak mau makan sama sekali," jelas Fika, suaranya dipenuhi cemas.