Episode 3: Rumah dan Janji Hati
Fika pulang dengan mobil boksnya, memarkirnya, lalu menuju rumahnya yang sederhana. Ia membuka pintu perlahan. Seorang wanita paruh baya keluar dari kamar belakang. Itu ibunya.
"Tisya sudah tidur, Bu?" bisik Fika. Ibunya mengangguk. Ia segera merajang air untuk Fika mandi.
"Terima kasih, Bu." Fika tersenyum melihat ibunya yang walau sudah tidak muda, masih sehat dan bersemangat. Fika tahu, ibunya seorang tunawicara. Maka dari itu, ia dulu sempat melambung tinggi. Ia yatim, ibunya tunawicara, tetapi berhasil menjadi penyanyi terkenal. Fika melihat bagaimana ibunya berjuang membesarkannya.
Ibu Fika, seorang wanita yang sederhana, berjuang membesarkan Fika sejak suaminya meninggal karena sakit. Fika sendiri melihat bagaimana perjuangan ibunya agar ia bisa meraih mimpinya. Ibunya yang selalu mendukung dan selalu ada untuknya. Bahkan, ketika Fika terpuruk dan membawa kabar kehamilan tanpa ayah, ibunya tidak menyalahkan.
Dengan bahasa isyarat, ibunya mengatakan, "Ibu bersedia merawat cucu. Fika jangan pernah berpikir untuk menggugurkannya. Anak itu tidak bersalah."
Ibunya memohon Fika untuk tidak menggugurkan kandungannya, karena anak itu tidak bersalah. Fika sadar. Ia memeluk ibunya erat, air matanya menetes. Ia memilih untuk merawat anaknya, meski ia harus sendiri. Ia yakin, seorang anak yatim sekalipun bisa bersinar, asal dididik oleh ibu yang kuat. Fika adalah bukti. Ia akan melanjutkan perjuangan ibunya, ia akan berjuang untuk Tisya, putri semata wayangnya.
Hari berlalu seperti biasa. Fika tidak ingat lagi kejadian di kafe Yasmin tempo dulu. Ia memang masih suplai ke kafe itu. Tapi Fika buru-buru, selalu mencari waktu siang atau sore hari, agar ia tidak perlu bertemu Yasmin.
Suatu sore yang cerah, Tisya, yang kini berusia sembilan tahun, berlari menghampiri Fika yang sedang mengemas pesanan. Di tangannya, Tisya memegang sebuah flyer yang lusuh.