Episode 1: Perjumpaan di Atas Kue yang Terlalu Manis
Senja merangkak di balik cakrawala Jakarta yang dihiasi gedung-gedung pencakar langit. Cahaya lampu mulai menyala, mengisi kekosongan malam yang akan segera tiba. Di sebuah kafe cozy di pusat kota, denting garpu dan sendok beradu, diselingi bisik-bisik ramah para pengunjung. Aroma kopi dan kue manis memenuhi udara. Di balik pintu dapur, Fika berdiri, dahinya berkerut, menatap kue tart setinggi tiga tingkat yang baru saja ia selesaikan. Ia mengenakan celemek belepotan krim dan tepung, kontras dengan wajahnya yang masih memancarkan sisa-sisa kecantikan masa lalu.
Tiga belas tahun lalu, nama Fika adalah jaminan keberhasilan. Suaranya yang merdu dan wajahnya yang rupawan membuatnya menjadi idola. Tapi kini, di usia 31 tahun, ia adalah seorang ibu tunggal, berjuang mati-matian di dunia yang asing baginya: dapur.
"Selesai, Bu Fika?" tanya seorang pelayan kafe, matanya berbinar melihat kue ulang tahun yang megah itu.
"Iya, sudah. Tolong hati-hati, ya. Kuenya ini spesial, buat orang penting," jawab Fika, berusaha menyembunyikan kelelahan di matanya. Ia menyeka keringat di pelipisnya. Sejak memutuskan untuk menekuni usaha kue, Fika sadar betul, ia tidak dilahirkan untuk berada di dapur. Tangannya yang dulu lincah memegang mikrofon, kini terasa kaku saat mengulen adonan.
Di sisi lain kafe, Rafi sedang duduk di sudut, memetik senar gitarnya pelan. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak yang sudah sedikit lusuh, namun rapi. Rambutnya disisir ke samping, dan di matanya terpancar kejujuran dan ketulusan. Di sampingnya, sebuah casing gitar usang tergeletak di lantai. Rafi adalah pria 36 tahun yang menjalani hidupnya dengan penuh dedikasi. Siang ia adalah seorang karyawan kantoran, malam ia adalah penyanyi kafe, semua demi menyokong keluarganya. Ayahnya lumpuh akibat stroke, dan adik perempuannya masih berkuliah. Suara bass Rafi yang mempesona sering kali membuat para pengunjung kafe terhanyut.
"Rafi, sound check dulu, Mas," panggil manajer kafe.
Rafi mengangguk, meletakkan gitarnya di atas panggung kecil. Sebelum naik, ia mengambil sepotong kue ulang tahun yang baru saja dihidangkan. Ia tersenyum tipis, menikmati setiap gigitannya, sampai akhirnya raut wajahnya berubah. Ia menelan dengan susah payah, ekspresi mual jelas terlihat.
"Manis sekali," gumamnya pada diri sendiri. "Krimnya terlalu kental."