"Aku... aku nggak apa-apa, Wan. Cuma... capek banget," Senja berbohong, suaranya bergetar.
"Jangan bohong, Senja. Aku tahu ada sesuatu. Suaramu beda. Cerita sama aku," desak Awan lembut, namun tatapannya menuntut kebenaran. "Aku memang nggak di sana, tapi aku ada di sini untuk dengerin kamu. Kamu tahu itu, kan?"
Senja terdiam. Matanya berkaca-kaca lagi. Ia ingin sekali bercerita, menumpahkan semua beban di pundaknya. Namun, lidahnya terasa kelu. Rahasia ini terlalu besar, terlalu menyakitkan untuk diucapkan. Ia takut, takut Awan tidak akan mengerti, takut Awan akan melihatnya berbeda.
"Aku... aku cuma kangen kamu, Wan. Kangen banget," Senja akhirnya memilih untuk mengalihkan pembicaraan, membiarkan kerinduan menjadi tameng. Sebuah kebohongan kecil yang menyakitkan, demi melindungi Awan dari kebenaman masa lalu yang ia sendiri belum sanggup hadapi.
Awan menghela napas, raut wajahnya masih menyimpan kecemasan, namun ia tidak memaksa. "Aku juga kangen kamu, Senja. Setiap hari, setiap kali aku lihat bangku pojok itu kosong. Aku kangen aroma latte buatanmu yang kadang nyelip di udara." Ia mencoba tersenyum, senyum yang berusaha menguatkan. "Tapi ingat ya, Senja. Kamu nggak sendirian. Aku di sini. Mimpi kita masih ada. Aku akan jaga kedai 'Senja Rasa' ini sampai kamu pulang."
Percakapan itu berakhir dengan janji-janji yang terasa hampa bagi Senja. Ia tahu ia menyembunyikan sesuatu yang besar dari Awan, dan itu terasa seperti bayangan yang semakin terbentang di antara mereka.
Sejak pengakuan Rama, hubungan Senja dengannya menjadi sangat canggung. Senja berusaha menghindarinya di kantor, berbicara seperlunya, namun Rama terus-menerus mencoba mendekat. Ia ingin menunjukkan bahwa niatnya tulus sebagai seorang kakak.
Suatu sore, Rama menunggu Senja di lobi kantor. "Senja, aku tahu ini sulit. Aku tahu kamu butuh waktu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku serius ingin menebus semua ini. Aku ingin kita seperti keluarga." Rama menatap Senja dengan mata memohon.
Senja hanya menunduk. "Aku... aku butuh waktu, Rama. Ini semua terlalu mengejutkan."
"Aku mengerti. Tapi tolong, jangan menghindariku seperti ini. Aku kakakmu, Senja. Aku ingin membantumu." Rama menghela napas. "Mungkin... mungkin besok kita bisa bicara lagi. Aku akan jelaskan semuanya, detailnya. Apa yang terjadi pada ibumu, bagaimana aku diasuh... semuanya."
Senja tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu melangkah cepat keluar gedung, seolah ingin melarikan diri dari kenyataan yang baru saja menghampirinya.