Itu adalah serangan psikologis yang brilian dalam kekejamannya. Nevan tidak mengancam, tidak menuntut. Ia hanya menyodorkan kenangan masa lalu yang indah, seolah mengingatkan Nadiya pada apa yang pernah mereka miliki, pada versi dirinya yang dulu mencintai Nevan tanpa syarat. Itu membuat Nadiya semakin bingung, marah, dan sedih sekaligus.
Malam itu, benteng mereka benar-benar retak. Arga pulang kerja dengan wajah lelah setelah seharian mencoba memadamkan api rumor di galerinya. Ia menemukan Nadiya duduk di sofa, memegang syal kasmir pemberian Nevan, air matanya mengalir tanpa suara.
"Apa ini?" tanya Arga, nadanya lebih tajam dari yang ia maksudkan. Kelelahan dan kecurigaan membuatnya bereaksi berlebihan.
Nadiya tersentak, buru-buru menyembunyikan barang-barang itu. "Bukan apa-apa. Hanya... barang lama."
"Barang lama dari Nevan?" desak Arga. "Kenapa kamu masih menyimpannya? Kenapa kamu membiarkan dia terus masuk ke dalam kepala kita, Nad?!"
"Aku tidak membiarkannya!" balas Nadiya, suaranya bergetar karena emosi yang meluap. "Kamu pikir ini mudah bagiku? Kamu tidak tahu bagaimana rasanya diteror seperti ini! Dihantui masa lalu setiap saat! Kamu tidak mengerti!"
"Aku mencoba mengerti!" sergah Arga, rasa frustrasinya memuncak. "Aku mencoba melindungimu, melindungi kita! Tapi bagaimana aku bisa melakukannya kalau kamu sendiri sepertinya masih terikat padanya? Kalau setiap taktik kecilnya berhasil membuatmu goyah?"
Kata-kata itu menyakitkan. Bagi Nadiya, itu terdengar seperti tuduhan. Bagi Arga, itu adalah ledakan dari tekanan yang terpendam. Pertengkaran hebat tak terhindarkan. Suara mereka meninggi, saling menyakiti dengan kata-kata yang mungkin akan mereka sesali nanti. Pintu dibanting. Keheningan yang menyusul terasa lebih menyakitkan daripada teriakan tadi.
Nadiya melarikan diri dari apartemen, berjalan tanpa tujuan di sepanjang kanal yang gelap. Angin malam Amsterdam terasa dingin menusuk kulit, tapi tidak sedingin rasa sepi yang membekap hatinya. Apakah Arga benar? Apakah ia masih terikat pada Nevan? Apakah ia terlalu lemah? Keraguan menggerogotinya. Ia merasa sendirian di tengah kota asing ini, perangnya terasa semakin berat.
Sementara itu, di apartemen, Arga duduk sendirian di tengah keheningan, menyesali kata-katanya. Ia meraih ponselnya, ingin menelepon Nadiya, tapi ragu. Ia sadar bahwa Nevan tidak hanya menyerang Nadiya, tapi juga menyerang hubungan mereka, menguji kesabaran dan kepercayaannya.
Tepat ketika Nadiya mulai berjalan kembali ke apartemen, berniat untuk bicara baik-baik dengan Arga, ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal. Ia ragu, tapi mengangkatnya.