Mohon tunggu...
Tri Mulyati
Tri Mulyati Mohon Tunggu... Guru - senang berpikir dan menulis

tak pernah berhenti berpikir. Memiliki lansekap imajinasi yang kaya. Senang mengamati kehidupan. Introvert yang kadang berpura-pura menjadi ekstrovert...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersesat di Gunung Ciremai

23 Oktober 2022   01:12 Diperbarui: 23 Oktober 2022   06:52 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semilir angin siang hari ini terasa begitu indah. Aku tersenyum sendiri menikmati segala kata-kata yang bermunculan di pikiranku. Hari ini adalah hari yang sangat Aku tunggu-tunggu, acara puncak perekrutan calon anggota pecinta alam! ya, Aku Annisa merupakan salah satu dari sekian banyak siswa baru di sekolah ini yang memilih untuk bergabung dalam ekskul pecinta alam.  

Kenapa Aku tertarik untuk mengikuti ekskul ini padahal Aku adalah seorang perempuan? sedangkan yang lain memilih untuk mempercantik diri mereka dengan bergabung di ekskul tata rias, ada juga yang ingin eksis agar bisa selalu tampil jika ada pagelaran seni di sekolah dengan bergabung di ekskul menari, band, dan  karawitan. 

Ada juga bagi siswa-siswi yang merasa pintar ya ikut ekskul penelitian, klub-klub pelajaran, dan lainnya. tapi, Aku memang memilih bergabung di pecinta alam! ya, pecinta alam yang identik dengan penampilan gagah berani, bebas, berwibawa, dan tangguh.  Itu semua biasanya diminati laki-laki bukan? 

Tapi, ah masa bodo! toh pendaftar perempuan setidaknya bukan Aku saja. ku hitung ada lebih dari 20 orang perempuan dari 45 peserta yang mendaftar. Dan tentunya, semuanya murid baru yang  tidak Aku kenal benar.  Hanya ada beberapa yang sempat Aku lihat di sepanjang waktu sekolah, dan ternyata ada satu orang berasal dari kelasku, Ani namanya.

ada banyak tahapan dalam kegiatan perekrutan anggota pecinta alam ini. Di mulai dari penyeleksian berkas dengan mengumpulkan dokumen yang diminta. 

Lalu ada juga penyeleksian berupa kemampuan baris-berbaris, kemudian diberikan beberapa materi dari kakak Pembina kakak senior. Semua Aku ikuti dengan senang. Rasanya, menjadi anggota pecinta alam adalah impianku sedari dulu. 


Bagiku, berbaur dengan alam, bisa menikmati semilir angin dengan dedaunan yang bergoyang, serta kicauan suara burung juga gemericik aliran air dari sumber yang entah dimana ujungnya, membuatku merasa bahagia. Aku merasa bebas, tanpa merasakan beban dan kegaduhan, serta sibuknya rutinitas keseharian. 

Di alam tentunya Aku takan pernah mendengar teriakan mama yang selalu menyuruhku segera makan, atau merapikan kamar dan seisi rumah. Aku juga tak akan merasa bising dengan suara adik-adikku yang selalu berlarian keliling rumah, dengan mainan yang mereka senggol dan lempar!huft, rasanya sudah tidak sabar menjadi bagian dari anggota pecinta alam.

Dan, taraaaa....tibalah hari ini! tak sadar Aku tersenyum-senyum sendiri seperti orang yang sedang kegirangan. sampai-sampai, Ani yang duduk tak jauh dari tempatku ia menyenggol bahuku dengan bahunya. "hei, kenapa kamu senyum-senyum aja?" tanyanya padaku. "hehehe, ga apa-apa ko" jawabku sambil memberinya senyuman yang lebih lebar lagi. 

Aku melihat Ani hanya mengernyitkan dahi mendengar jawabanku. Aku mengerti, sepertinya Ani merasa penasaran, karena melihatku yang dari tadi tersenyum padahal kami tengah duduk bersila di hamparan lantai lapangan volly sekolah yang panas karena tersorot sinar matahari siang. 

Tiba-tiba kami merasa kaget, saat kakak senior kemudian menunjuk kami berdua. "hei kalian berdua, ayo berdiri! siap-siap ya kita akan segera berangkat!" teriaknya. 

Seketika kami berdiri dan menjawabnya dengan lantang "siap kak!". Aku dan Ani sibuk merapikan semua perlengkapan dan seragam yang harus kami kenakan. Pakaian lapangan yang telah ditentukan beserta syal dan juga topi.

Lalu barang-barang yang akan kami bawa, yaitu tas ransel berukuran besar. ya, Aku hanya membawa satu barang saja, tas ransel. tapi, jangan salah! isi dari tas ransel ini sudah dapat mengcover semua kebutuhanku untuk berkemah. Mamaku membantuku melakukan packing untuk persiapan berkemah. 

Isi tas ranselku ada alat tulis, satu stel pakaian ganti, jaket, piring dan gelas plastik, obat-obatan, mie instan, handuk kecil, senter, dan beberapa cemilan. Di Pinggiran ransel disematkan gulungan matras kecil untuk tidur, dan pinggiran satunya tersimpan air mineral dalam botol yang besar. Sedangkan di tanganku menenteng kompor portable kecil, dan panci kecil yang juga ditenteng Ani yang merupakan peralatan kelompok. 

Ani merupakan teman sekelompokku, juga 5 orang lainnya. Selain itu ada peralatan tenda kelompok juga yang dibawa teman lain secara bergantian. Penampilan seperti ini benar-benar memperlihatkan kami sebagai sekelompok pecinta alam yang berjalan beriringan. Sungguh membuatku bersemangat!

Oya, Aku belum cerita, hari ini adalah puncak dari kegiatan perekrutan yaitu berkemah di gunung Ciremai! yang sebelumnya diawali dengan berjalan kaki menyusuri rute yang telah ditentukan panitia. Mendengar dari penuturan para panitia mereka menyebutnya 'Hiking'. Inilah yang membuatku merasa begitu senang! ya, hiking dan camping inilah yang menjadi alasanku bergabung di pecinta alam. Juga berhasil membuat Ani melihatku seperti orang yang tak waras. haha!

Siang ini matahari begitu terik, waktu menunjukan pukul 13.30 WIB. Kami berjalan beriringan membentuk satu barisan panjang yang sesekali diselingi panitia yang berlari bergantian mondar mandir memantau barisan agar tak putus dan memastikan tak ada peserta yang pingsan atau cedera. Aku melihat sendiri, para panitia yang terdiri dari kakak senior dan beberapa guru juga semuanya berjalan kaki. Mereka tampak tangguh, bersemangat dengan barang bawaan yang tak kalah berat dari yang kami bawa. Tapi mereka tetap menunjukan semangat dan berwibawa, sampai-sampai melihat mereka begitu mempesona seperti itu menjadikanku juga semakin bersemangat. Apalagi kami sebagai peserta, tentunya harus menunjukan sikap yang meyakinkan bukan? bagaimana jadinya jika kami berbuat lemah, atau pingsan? huft, membayangkannya saja Aku tak mau, karena setiap apa yang kami lakukan dalam kegiatan ini tentunya akan menjadi penilaian untuk kelulusan kami menjadi anggota pecinta alam.

Kami berjalan tanpa waktu istirahat. Hanya boleh sesekali berjongkok untuk minum, atau duduk sebentar selagi menunggu barisan di belakang yang tertinggal. Atau jika kami beruntung tak menemukan panitia, kami bisa duduk lebih lama selagi beberapa peserta lain melewati kami. Tujuan kami yaitu perkemahan atas pajambon yang sudah termasuk ke dalam taman nasional gunung ciremai. Jarak yang kami tempuh dari titik awal di sekolahku berkisar 8,3 km ditempuh dengan berjalan kaki, dengan durasi waktu kurang lebih 2 jam 40 menit. 

screenshot-2022-10-23-01-19-18-635435105e09f565e86722b2.png
screenshot-2022-10-23-01-19-18-635435105e09f565e86722b2.png
Sekitar pukul 16.15 kami pun sampai pada tujuan. Setelah kami cukup beristirahat sejenak, panitia memberi instruksi kepada kami agar berkumpul bersama kelompok dan merapikan peralatan yang dibawa. Lalu kemudian perintah selanjutnya adalah agar semua peserta mengikuti sholat ashar berjamaah, dan bagi yang sedang berhalangan (menstruasi) agar memulai untuk mendirikan tenda kelompok. Aku yang kebetulan sedang berhalangan bersama 2 orang teman lainnya segera berdiri kembali untuk mengatur pendirian tenda. Lalu kemudian disusul oleh 4 orang lainnya teman kami yang telah selesai sholat dan langsung mengambil bagian dalam pendirian tenda, termasuk Ani diantaranya.

"Kamu ga sholat Nis?" tanya Ani kepadaku. "Engga ni, cape banget nih rasanya kalau lagi menstruasi tuh ya", Jawabku sekenanya. "oh, lagi mens..tapi ga keliatan tuh lemes. Dari tadi jalan kaki menerobos terus..udah kayak tukang ojek. Hehehehe" celetuk Ani menimpali. "Yaelah Ni, namanya juga pengen lulus ya kan...?masa lemes sih. Aku ga mau sampe keliatan panitia, nanti namaku dicoret. Hihihi.." balasku juga sekenanya. Saat sedang berbincang, dari kejauhan terdengar suara peluit berbunyi "prri iiiiiit....!" kakak panitia memberikan instruksi bahwa pendirian tenda dibatas sampai maksimal 10 menit lagi. Seketika semua peserta teriak begitu juga Aku dan Ani, lalu kami bergegas menyelesaikan sisa tugas kami. 

Sisa waktu setelah mendirikan tenda, kami dihimbau untuk memasak untuk makan malam kelompok dan bersih-bersih alakadarnya. Setelah sebelumnya semua ketua kelompok dikumpulkan. Sisa waktu ini tidaklah banyak, karena sudah mepet dengan kegiatan sholat magrib berjamaah. Maka dengan terburu-buru kelompok kami menyantap makanan yang telah kami buat dengan sembarangan. ya, membuat nasi liwet, serta bawang goreng pedas, dan remahan rempeyek yang dibawa salah satu teman kelompok kami, karena sore ini kami tidak diperbolehkan memakan mie instan.

Waktu menunjukan pukul 18. 05 terdengar semilir kecil suara adzan berkumandang dari desa dibawah kaki gunung yang dari tempat kami mulai terlihat pemandangan lampu berkilau dengan atap-atap rumah yang berdempetan. Juga lantunan adzan yang terdengar nyaring dari ringtone ponsel salah satu kakak pembina kami. Aku menikmati suasana syahdu suara adzan di pegunungan ini, rasanya tak pelak ingin memejamkan mata meresapi hati yang terasa khidmat. Mengagumi kebesaran-Nya, dibalik kondisi yang serba terbatas, di hadapan ciptaan-Nya yang begitu besar ini, rasanya diri ini hanya setitik noda saja dalam bentangan semesta ciptaan-Nya. Ku hembuskan nafas berulang kali ingin menciptakan ketenangan, sampai terkaget Aku hampir melonjak saat Ani menepuk pundakku dari pinggir, "hey, cepetan kumpul, ngapain sih diem aja. Tuh yang lain semua udah di lapangan, katanya yang menstruasi juga ikut kumpul deket yang sholat. ayo kesana!". Aku yang terkaget langsung mengangguk tanpa berkata-kata.  

Saat semua peserta lain mendirikan sholat magrib berjamaah, Aku berada di belakang bersama beberapa peserta lain yang menstruasi. Diantara jajaran peserta yang menstruasi, Aku duduk di bagian paling pinggir. Gelap malam dengan sedikit penerangan obor yang dibuat oleh panitia sedikit membuat kami terasa nyaman. Langitpun terlihat bersahabat dengan adanya bulan purnama yang terang. Gemerlap bintang pun terlihat indah, keluar di antara celah-celah dedaunan. Terdengar suara panitia sesekali mengingatkan kami agar ikut berdzikir mengikuti peserta lain yang sholat. Tapi, sesaat Aku mulai fokus pada kepalaku yang mulai terasa sakit. Rasanya dzikir pun sulit untuk ku lafalkan, Aku hanya diam menahan sakit yang tak hilang.

Kegiatan sholat berjamaah pun selesai dan kami kembali ke tenda. Agenda saat ini, ketua kelompok menyampaikan bahwa kami harus menyiapkan strategi kelompok dalam tugas membuat yel-yel dan instruksi sedikit berkemas barang-barang yang tidak terlalu dibutuhkan. Kami sedikit tak paham sebenarnya apa maksudnya, kenapa harus ada instruksi berkemas segala padahal kami baru saja mendirikan tenda. Namun, seperti dikomando kami pun langsung saja mengikuti arahan ketua kelompok tanpa bertanya apapun. Kami bekerja sambil bercengkrama dan berbagi cemilan yang dibawa masing-masing. 

Ketika terdengar suara adzan isya, panitia pun membunyikan pluit "pprrr iiiiiit...!semua peserta berkumpul di lapangan untuk melaksanakan sholat isya sementara yang menstruasi boleh untuk di tenda!" Seketika peserta yang akan melaksanakan sholat berhamburan menuju lapangan. Tinggal kami bertiga di tenda yang tersisa. Kepalaku kembali terasa sakit, Aku hanya bisa menahan. 

Selepas kembalinya peserta yang sholat dari lapangan, kami pun diberitahu bahwa hanya diberikan waktu 5 menit untuk berkumpul kembali ke lapangan seluruh peserta tanpa terkecuali. Mereka bilang harus membawa alat tulis dan selalu membawa senter. Kami menurut dan langsung bersiap, dilanjut komando dari ketua kelompok lalu kami menuju lapangan sebelum panitia meneriakan hitungan. Di lapangan, kami semua duduk di tanah membentuk lingkaran besar. panitia sudah menumpukan beberapa obor milik panitia di tengah-tengah lapangan sehingga mirip dengan gunungan api unggun. 

Di sana, kami diberikan materi tentang kepribadian tangguh seorang pecinta alam. Kami juga dikenalkan dengan materi tentang seluk beluk pecinta alam. tak lupa yel-yel yang tadi diinstruksikan pun ditampilkan satu-satu. Malam menjadi hangat dan gembira. 

Namun, sakit kepalaku tak kunjung juga hilang, sesekali terasa dan sesekali hilang. Padahal sudah ku minum tolak angin yang diselipkan mama di tas ranselku, dan juga kayu putih yang sudah ku balur sesuai pesan dari mama. Ah, rasanya jiwa manjaku mulai menyeruak, tiba-tiba saja ingatan tentang mama yang selalu cerewet mengomentari ini dan itu, dan ayah yang hanya sering tersenyum kecil menertawakan kecerobohanku. Ku hapus langsung ingatan itu menyadarkan diri untuk fokus pada materi yang disampaikan.

screenshot-2022-10-23-01-21-56-6354353608a8b57d9a65c6f2.png
screenshot-2022-10-23-01-21-56-6354353608a8b57d9a65c6f2.png
Kegiatan tak berlangsung lama, sekitar pukul 21.00 tiba-tiba saja kakak panitia mengumumkan bahwa setelah kegiatan materi ini kami harus kembali ke tenda dan langsung mengemas semua barang kami, termasuk juga merobohkan tenda yang telah didirikan. kami hanya diberikan waktu 15 menit lalu kembali membentuk barisan di lapangan. setelah peluit dibunyikan, kami pun berlarian menuju tenda masing-masing. tenda yang telah berdiri kokoh kami cabut paksa dan kemas alakadarnya. sesegera mungkin kami berkumpul di lapangan membentuk barisan kelompok. dalam benak, kami baru tersadar, ini ternyata tujuan panitia tadi memberikan instruksi berkemas barang-barang. Hanya bisa mengatur nafas, diantara buru-burunya berkemas dan membuat kesimpulan dalam pikiran sendiri bahwa kegiatan ini benar-benar dilaksanakan secara rahasia, penuh dengan kejutan, dan menjadikanku untuk selalu bersiap dan waspada. semua instruksi harus dilaksanakan dengan tepat. Tak ada yang tahu apa saja susunan acaranya, semuanya diinstruksikan secara mendadak melalui pemanggilan ketua kelompok atau melalui TOA panitia. ya, mungkin karena hal-hal ini juga yang menjadikan pamor ekskul pecinta alam sangat populer di sekolahku. Wibawanya sangat tajam, pesonanya pun tak main-main. Mereka siswa-siswi lain memandang ekskul ini antara diminati dan disegani, juga berbagai cerita yang menarik dan unik yang selalu mereka tunggu dalam setiap gosipan di waktu sekolah. hm, baiklah, mungkin Aku sudah masuk ke dalam bagian cerita ini.

Setelah kami berbaris rapi di lapangan dengan membawa perlengkapan dan barang-barang yang lengkap, kami diberi instruksi bahwa perkemahan akan dipindahkan ke lapangan kemah yang selanjutnya yaitu berada di bawah lapangan kemah yang ini. 

Semua kelompok dibariskan untuk berjalan beriringan menyusuri semak belukar di tengah-tengah hutan kaki gunung ciremai, menapaki jalan sepintas yang terlihat kurang jelas karena di malam hari. Sesuai dengan instruksi panitia, kami hanya diperbolehkan menggunakan senter milik masing-masing yang harus selalu di pegang. 

Tak lama kami sampai tujuan, lapangan kemah kedua yang berada tak jauh dari lapangan kemah sebelumnya, hanya menuruni jalan setapak yang agak berkelok sedikit diantara semak belukar dengan jarak diperkirakan kurang lebih 100 M terus ke arah dalam rute pendakian gunung ciremai. Setibanya di lapangan bawah ini, kami diperintahkan mendirikan tenda kembali dalam hitungan 15 menit, setelah itu diperintahkan untuk segera tidur dengan instruksi senter yang harus selalu di pegang. Kami pun melaksanakan semua perintah panitia dengan sigap. 

Suasana di lapangan kedua ini terasa sedikit lebih suram. Karena posisinya yang berada dibawah, maka dedaunan yang menutupi pandangan kami ke langit pun lebih rimbun, sehingga susana terasa lebih gelap tidak dapat melihat dengan jelas bulan purnama dan bintang.

Kami pun tertidur lelap antara kondisi yang capek dan paksaan panitia yang menyuruh kami segera tidur, bahkan panitia berkeliling untuk memastikan semua peserta tertidur. Begitupun Aku dan Ani, kami tidur bersebelahan berdempetan satu sama lain dengan posisi Aku yang berada paling pojok di dalam. Rasanya sakit kepalaku pun sudah tak terasa lagi, entah karena kantuk dan capek atau karena memang sudah sembuh. Waktu berlalu meBegitu lelapnya aku tertidur, sampai aku tak sadar Ani yang tidur berdempetan di sebelahku sudah tidak ada. Sambil terkaget-kaget antara sadar dan tidak sadar karena menahan kantuk, aku dibangunkan oleh panitia yang masuk ke dalam tendaku. Aku dibangunkan dan ditarik keluar tenda, disuruh berdiri dan diminta untuk mengumpulkan nyawaku agar sepenuhnya sadar dari tidurku. 

Sejenak 2 panitia yang berada di hadapanku menungguku untuk menyadarkan diri, sementara aku melihat satu orang lagi panitia berdiri agak jauh yang juga memandangku. Lalu satu panitia dihadapanku bertanya, "gimana udah sadar belum?" tanyanya padaku, lalu ku jawab dengan agak terpaksa "sudah ka". Kemudian panitia satunya bertanya lagi, "ini berapa Nis?" sambil mengacungkan 3 jari kepadaku. "Tiga ka", jawabku langsung. "Oke, berarti kamu sudah sadar ya? Nah sekarang harus bawa senter. mana senter kamu?", "ini ka", timpalku sambil mengeluarkan senter kecilku dari saku baju. "Oke, sekarang kamu saya kasih perintah, kamu harus berjalan kaki menuju lapangan kemah yang di atas. Lapangan kemah yang awal kita mendirikan tenda. Tau kan?" tanyanya padaku. Aku mengangguk, karena tak lama sebelum tidur kami berpindah dari lapangan yang dimaksud menuju lapangan kemah yang ini. Seingatku tidak terlalu jauh, dan masih terbayang jalannya. 

Namun, saat aku akan bergerak maju, kakak panitia menahanku dan berkata,"sebentar, belum selesai. mana sini syal kamu?" ku berikan syal yang selama ini melingkar di leherku. Tiba-tiba saja dua panitia tersebut melipat syal dan melilitkannya di kepalaku, diikatnya menutupi mataku. Lalu mereka berdua memutar tubuhku beberapa putaran, kemudian memapahku maju berjalan beberapa langkah. 

Setelah itu mereka membuka syal penutup mataku. "Ayo jalan maju, ingat perintahnya!". Aku yang baru bisa membelalakan mata kembali setelah sekian menit ditutup mata dan diputar-putar, tentulah merasakan linglung. Sejenak berdiam memaksakan diri untuk sadar, sambil tetap memegang senter Aku mulai sedikit demi sedikit berjalan maju. Di belakangku terlihat tinggal satu orang panitia yang tadi memberi perintah terakhir. 

Namun, samar-samar aku mendengar suara tak jauh berkata, "Ayo cepetan, jangan khawatir di sekelilingmu ada panitia". Suara itu hanya terdengar saja tanpa terlihat siapa yang mengatakan, tapi itu menjadikanku percaya bahwa Aku berjalan di tengah hutan malam-malam begini pastinya dalam pengawasan para panitia. 

Sesekali kakiku tersaruk mengenai gunungan daun kering yang tertabrak kaki. Tersentak Aku pun segera mengambil arah lain, karena aku percaya jika menabrak daun kering yang menggunung itu artinya yang ku lewati bukanlah jalan setapak yang biasa dilewati. Sesekali Aku sedikit merangkak karena medannya sedikit menanjak dan berkelok. Belum lagi tubuhku yang sebenarnya belum begitu sadar 100 persen, membuatku sedikit masih linglung. 

Tapi perasaanku sebaliknya, dibalik sedikit rasa takut, rasa optimis dan semangatku lebih besar aku rasakan. Dalam kesunyian aku melanjutkan perjalanan, hanya bermodalkan senter di tangan. ya, senter kecilku yang bisa masuk di saku bajuku. 

Lambat laun Aku menghentikan langkah kaki, menatap ke segala penjuru mengamati setiap jengkal sudut yang bisa kutangkap lewat mataku. Seingatku ini adalah lapangan kemah atas yang sebelumnya kami mendirikan tenda. Samar-samar Aku mengamati sekeliling, terlihat sedikit jelas pemandangan lapangan karena tersorot sinar bulan purnama. 

Aku ingat betul sekeliling tempat ini, karena tempat ini adalah tempat terlama kami transit dibandingkan dengan lapangan kemah kedua. Juga saat kami tiba di lapangan ini saat itu masih waktu ashar, sehingga setiap sudut lapangan setidaknya aku hafal karena pernah melihatnya dengan jelas. Hanya saja ada yang membuatku aneh, kenapa aku tak melihat ada seorang pun di sana?

Tiba-tiba saja suasana terasa begitu sunyi mencekam. Angin pun seolah mendadak berhenti. Tak ada sedikitpun suara, hanya hembusan nafasku saja yang sesekali terdengar. Lama Aku terdiam mengamati suasana, kurang lebih 10 menit berdiri mematung sendirian. Pikiranku berputar mencari jawaban, seharusnya sudah ada orang di sini, atau setidaknya ada panitia yang menyambutku di sini. 

Atau, jika Aku orang pertama yang naik ke lapangan ini, setidaknya interval waktu tidak akan selama ini untuk Aku kemudian bertemu dengan orang berikutnya di belakangku. Seketika Aku berpikir ulang, apakah Aku salah tempat? Apakah Aku salah mendengar perintah? Lalu Aku tengok ke arah perkemahan bawah yang juga hampir tidak terlihat lagi itu, sama sekali tak nampak ada tanda-tanda orang di sana. Aku bingung.

Dalam keanehanku itu, tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh berjarak agak jauh dari tempatku berdiri. Sosok tersebut berada sejajar namun berseberangan denganku di sudut lapangan kemah yang berukuran kurang lebih 20 M itu. Sosok itu tidak begitu jelas terlihat tapi cukup bisa meyakinkanku nampaknya itu adalah panitia. Karena postur tubuh dan bentuk siluet jilbab yang dikenakannya sangat mirip dengan penampilan panitia. 

Memang warnanya gelap, entah coklat entah hitam. Sosok itu terlihat hanya berdiri mematung sepertiku, hanya saja kami berlainan arah wajah. Dia berada di depanku di arah timur sejajar dengan posisi aku melangkah, sedangkan tubuhnya menghadap utara. Namun, Aku yang sedari tadi lama mematung mencerna keanehan ini, seolah merasa mendapat jawaban ketika melihat sosok tersebut. Di benakku hanya mengira sosok itu adalah panitia, karena selama aku berdiri di sana tak satupun Aku melihat seseorang. Baik itu temanku Ani, atau peserta lain, atau juga panitia. 

Akhirnya kuberanikan diri untuk maju melangkahkan kaki. Berjalan menuju sosok yang ku kira panitia itu. Sesampainya di hadapan sosok panitia itu, Aku pun berdiri berhadapan dengannya. Hanya saja posisi kami yang tidak tinggi sejajar. Tanah yang kami injak berupa undakan yang tidak sama tinggi. Jarak kami hanya sekitar setengah meter, berhadapan namun Aku tak bisa memandang wajahnya dengan jelas karena wajahku hanya bisa sejajar dengan dadanya. Tapi sekilas Aku sempat melihat siluet wajahnya terlihat wajar. Sebagai peserta, tentunya Aku tak berani memandang wajah kakak senior terlalu lama karena takut dianggap tidak sopan. 

Segera sesampainya Aku di hadapannya, Aku langsung melakukan laporan sambil memberinya hormat. "Lapor, saya dari kelompok 5 siap menjalankan tugas", suaraku sedikit lantang padanya. Lalu beberapa saat berlalu tanpa jawaban, sosok panitia itu tak bergerak dan tak bersuara sedikit pun. Aku tetap berdiri tegak dengan tangan yang masih melakukan hormat, walaupun sempat kembali merasa heran karena suasana kembali terasa sunyi mencekam. Saat Aku hendak menengadahkan wajah ingin melihat reaksinya, tiba-tiba saja terlihat olehku tangan kanannya bergerak mengeluarkan cahaya senter ke arah timur berulang-ulang seperti gerakan semapur yang sedang memberi kode, seolah memberiku aba-aba untuk mengikuti petunjuk arah cahaya senter tersebut. 

Seketika itu juga aku berbalik ke kiri menuju arah timur sesuai dengan arah petunjuk aba-aba cahaya senter. Tanpa ada rasa curiga atau semacamnya, Aku berjalan kembali menyusuri belantara hutan gunung ciremai di tengah malam yang gelap. Berjalan sendirian di bawah cahaya bulan purnama yang saat itu terasa sinarnya seolah berkurang, dan Aku pun lupa dengan senter kecilku yang ada di saku baju. Tapi, semenjak Aku berjalan menyusuri rute baruku ini ada hal yang sedikit membuatku terasa aneh. Aku bisa melihat cahaya senter besar berbentuk bulat di sepanjang tanah yang akan Aku tapaki seolah ada seseorang yang menyoroti senter besar dari atas yang langsung ditujukan ke tanah di depan kakiku. Mungkin seharusnya aku merasa aneh, namun karena tak ada lagi cahaya yang bisa menuntun langkah perjalananku maka aku ikuti saja cahaya itu. 

Di satu sisi Aku merasa yakin bahwa jalan yang ditunjukan cahaya itu adalah jalan setapak yang tadi siang Aku lewati bersama rombongan kemah kami. Jalan itu menuju ke arah turun gunung atau arah pulang. Aku berjalan menapaki langkah demi langkah mengikuti cahaya itu, tanah yang ku tapaki hanya jalan setapak yang sedikit curam. Pinggiran gunung dengan jurang di sebelah kiriku. Sesekali Aku berpikir untuk berdzikir, namun berkali-kali aku melafalkan ayat kursi pun tak kunjung selesai. Begitu juga dengan surat Al-fatihah, dan juga surat-surat pendek lainnya. Seolah otak ini tak mampu membuka ingatan hafalanku. Padahal Aku cukup dipuji guru ngaji dan teman-teman pengajianku karena hafalan Quranku yang lancar. Namun keanehan tentang hafalan itu pun tak ku hiraukan karena kesibukanku memperhatikan langkah kakiku dan medan jalan yang ku tempuh. Sesekali aku tergelincir beberapa batu-batu kecil yang membuat tanah ini licin.

Aku berjalan terasa begitu jauh, banyak melewati tepian tebing yang curam, dan beberapa semak belukar yang rimbun hingga setinggi dadaku. Sampai tiba di suatu titik jalan aku berhenti sejenak, memandang jalan yang tampak seperti cagak. Cahaya senter yang memberi petunjuk pun seolah terbelah dua. 'Aku harus memilih arah?' benakku. 

Seketika Aku memilih arah kiri, dan lupa jika sebelah kiriku tentunya adalah tebing curam. Baru saja Aku berjalan beberapa langkah maju, tak terprediksikan tiba-tiba "srruuuukkk...!!" kaki kiriku terperosok ke bawah dengan posisi tubuhku membelok ke arah kanan menopang kaki kananku, badanku merosot ke bawah perlahan dan kedua tanganku spontan menggapai-gapai apapun yang bisa diraih. 

Lalu "Hap!" tanganku menemukan batang pohon yang bisa ku raih. "Arrghh..!" Spontan Aku menaiki jalan setapak lagi. Dadaku berdebar, sedikit kalut, namun spontan kakiku berlari sesegera mungkin berbalik arah kembali menuju titik jalan cagak tadi. Tebing itu tidak terlalu curam, sedikit landai dengan ditumbuhi pepohonan kecil. Hanya saja, kebanyakan struktur tanahnya kering berpasir dan berkerikil sehingga licin dan berpotensi untuk terperosok terus terseret hingga ke bawah. 

Sesampai Aku di titik jalan cagak, Aku pun melanjutkan perjalanan memilih arah kanan dengan kembali dituntun cahaya senter besar di tanah depan langkahku. Berjalan lagi sampai tiba juga di sebuah medan dengan jalan yang tak lagi terlihat seperti jalan setapak. Aku memandang sekitar dipenuhi pepohonan besar dan semak belukar yang cukup tinggi. Medan ini terasa lebih gelap dan suram. Ku lihat kebawah, masih ada cahaya senter namun pijakan tak lagi tanah melainkan berupa belahan batu-batu besar yang tersusun acak, tidak begitu rata namun masih dapat dilalui. Langkahku pun semakin berhati-hati, karena sesekali aku harus meloncat. 

Sekian waktu Aku berjalan di medan bebatuan itu, Aku merasakan pegal di pundak dan tengkuk karena terus menerus menunduk melihat cahaya di bawah. Saat Aku mencoba untuk melangkah maju dengan kepala tegak, tiba-tiba "Jeduk!" Keningku terbentur sesuatu yang tak ku lihat. "Aw, aduh..." tubuhku sedikit terjengkang ke belakang, Aku pun meringis kesakitan dengan tangan kiri memegang kening. Spontan juga tangan kananku meraba ke depan memastikan apa yang ku tabrak tadi. Aku kaget ketika mencoba membelalakan mata ternyata yang ada di hadapanku adalah sebuah pohon asem dengan batang pohon berwarna hitam semua dan permukaan batang yang kasar. 

Aku mundur beberapa langkah, dan tiba-tiba saja Aku mulai merasakan pusing yang tak tertahankan di kepalaku. Rasanya pandanganku sedikit berputar, Aku mencoba menoleh ke berbagai arah dengan kedua tangan memegang kepala. Tak lama tiba-tiba semua bunyi alam terdengar jelas olehku. Suasana terasa gelap dan cahaya senter di bawah pun hilang. Setelah sekian lama Aku merasa tak mendengar apapun kecuali sunyi dan suara diriku sendiri. Seketika tubuhku mulai bergetar, Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku menangis, merasa takut karena tiba-tiba Aku merasa sedang sendirian berada di belantara hutan di tengah malam. Aku tak paham dan tak menghiraukan lagi perasaan optimisku yang ku rasakan sepanjang perjalanan tadi. Padahal mungkin sudah berjam-jam Aku memang berjalan sendirian di tengah hutan ini. 

Tak lama saat Aku tengah menangis ketakutan, "gresek...gresek, drap, drap, darap!" terdengar olehku suara langkah kaki seseorang yang sedang berlari di kejauhan. Ku tajamkan pendengaran, terdengar suara itu semakin mendekat di susul dengan teriakan bersahut-sahutan "Nisa....Nisa...Nisa...!" Suaranya terdengar jauh dan bergema. Aku tersentak ternyata suara itu memanggil namaku, dan aku hafal salah satu suara itu adalah suara guruku, salah satu pembina ekskul pecinta alam. Tanpa menunggu Aku pun langsung berteriak "Bapak....Nisa disini..., tolong Nisa!!" ucapku diulang-ulang dengan suara sekuat tenaga. Aku merasa mendapatkan harapan besar yang membuatku antara ingin berjuang selamat dan takut bahwa ini hanya sebuah halusinasi dari rasa takutku. 

Namun, tak lama derap suara langkah berlarian itu semakin jelas ku dengar, tiba-tiba "Nisa...!!" Aku kaget menoleh ke arah kanan dan ku lihat kakak panitia yang ku kenal berdiri tak jauh dari tempatku berdiri. Aku berlari menghampirinya, dan ku lihat di belakangnya datang lagi satu kakak panitia bersama guruku yang tadi suaranya ku kenal. Aku langsung dipeluk oleh kakak panitia, Aku menangis sesegukan sambil dipapah langsung meninggalkan tempat tadi menuju ke lapangan kemah atas yang diperintahkan. 

Sesampainya di lapangan kemah atas yang tadi Aku lewati begitu saja, Aku melihat semua peserta ada di sana. Lapangan yang tadi saat aku kesini tak satupun orang ku lihat. Terdengar riuh suara mereka yang penasaran melihat kedatangan kami. Aku disambut oleh semua peserta. Teman-teman sekelompokku khususnya Ani terlihat menangis kejar menghampiriku. Kami semua terlarut dalam suasana haru, semua menangis. Sampai akhirnya panitia mengkondisikan kami kembali, "Peserta semua, kita bersyukur karena bisa berkumpul bersama lagi di sini dengan lengkap. Alhamdulillah Nisa bisa ditemukan. Saat ini sudah menunjukan pukul 04.00 dini hari, sebaiknya kita mengambil wudu dan persiapan sholat subuh berjamaah". Semua peserta bergerak mengambil wudhu, dan kembali ke lapangan lagi dan sholat subuh. Ku lihat semua peralatan sudah berada di lapangan ini lagi, mungkin selama Aku pergi mereka memindahkan kembali barang-barang ke lapangan ini. Sungguh waktu yang lama, ku hitung setidaknya 4 jam Aku meninggalkan mereka. 

Selepas melaksanakan sholat berjamaah, kami diperbolehkan beristirahat sebentar untuk membuat minuman hangat. Aku pun duduk berkumpul bersama teman-teman sekelompokku mengitari tumpukan barang-barang kami. Sambil menyalakan kompor dan menunggu air mendidih, kami pun mengobrol. "Nis, Aku penasaran kenapa kamu tadi malam malah pergi gitu aja sih? ke arah sana sendirian lagi. Emangnya kamu mau kemana?mau ngapain malam-malam sendirian?" tanya Ani serius kepadaku. Aku melihat temanku yang lain mulai tertarik dan menyimak dengan serius. Lalu Aku pun menceritakan kejadiannya, tentang kondisi lapangan yang kosong, tentang sosok panitia misterius, lalu tentang cahaya senter, jalan cagak dan medan bebatuan dengan pohon asem. Sesekali mereka bergumam ketakutan, sesekali mereka bertanya menimpali. Namun, sempat mereka semua bercerita bahwa ketika aku sampai di lapangan atas ini, tepat di ujung lapangan Aku berdiri itu sebenarnya mereka semua melihatku, Aku yang berdiri mematung lama sekali. 

Dan Ani sempat menghampiriku dan memanggil-manggil aku dari jarak yang tak terlalu jauh. Hanya saja saat itu semua peserta diperintahkan untuk berbaris rapi sesuai kedatangan. Kata Ani saat itu lapangan tidak sepi, malah terasa ramai karena semua peserta sudah sampai ke lapang ini dan Aku ternyata adalah peserta terakhir yang dibangunkan, sebelumku adalah Ani. Saat Ani memanggil-manggil, Ani juga merasa heran karena Aku tak menoleh sama sekali. Malah terus berjalan maju ke arah timur, sedangkan saat itu Aku benar-benar tidak melihat satu orang pun disini dan tak ada suara apapun yang Aku dengar. Seketika kami pun mulai merinding ketakutan lagi. 

"Priiiiitt....!" Suara peluit kakak panitia membuyarkan cerita kami. "Semua peserta berkumpul di tengah lapangan!". Maka kami pun bergegas menuju lapangan. Kegiatan pun dilanjutkan dengan pemberian materi tentang tata cara survive di alam. Mulai dari pemberian contoh mengenal bau-bauan, lalu kemudian mengenal suara, mendeteksi bunyi dan beberapa contoh jenis tumbuhan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Selesai materi, acara dilanjutkan dengan membuat sarapan per kelompok. Kami membuat mie instan dan bubur nasi. Sudah tidak memandang selaras atau tidak, yang penting kenyang,begitulah semboyan berkemah. haha.

Selesai sarapan, kami diperintahkan berkemas dan bersiap untuk jalan kaki kembali hiking menuju sekolah kami. Ditengah perjalanan, Aku sangat diperhatikan oleh teman- teman dan juga panitia. Kata mereka, Nisa harus dijaga di posisikan di tengah tidak boleh dibelakang. Dan semua peserta dihimbau agar saling menjaga dan berjalan saling berdekatan. 

Ada cerita yang membuatku terperangah lagi, saat pulang menuruni gunung ini memang kembali menyusuri jalan yang tadi malam aku tersesat. Hanya saja, saat hampir dekat ke medan bebatuan pohon asem itu, seharusnya rutenya menuju arah kiri berbelok sedikit. Lalu saat melewati rute belokan itu, aku bertanya pada guruku, "memangnya kalau rute lurusan bebatuan itu nanti arahnya kemana si pak?" guruku langsung menoleh ke arahku, "di depan bebatuan itu ada makam" jawab guruku. "Astagfirullah", seketika Aku kaget dan merasa takut, juga bersyukur kakak panitia dan guruku segera menemukanku sebelum Aku sampai di makam yang disebutkan.

Aku berdzikir sepanjang perjalanan pulang, mengingat-ngingat semua kejadian semalam membuatku merinding. Aku sangat bersyukur bisa ikut pulang bersama rombongan sekolahku. Sesaat Aku menengok ke belakang, terlihat gunung ciremai yang gagah, besar, dan terasa sedikit menakutkan bagiku. Ku langkahkan kaki dengan tegap, bergegas ingin segera kembali menemui keluargaku. Aku rindu mama, Aku rindu ayah, dan adik-adikku yang bising. Rasanya Aku bagaikan prajurit yang sedang dalam perjalanan pulang selepas berjuang dalam perang. Lelah, Takut, Haru, Rindu.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dari ceritaku ini, agar diambil pelajaran bahwa berkemah di gunung sejatinya harus memiliki persiapan yang lebih matang. Pikiran dan jiwa kita harus selalu fokus dan waspada, perbanyak dzikir dan selalu berdekatan dengan teman. Gunung selalu saja menyimpan berbagai cerita dan misteri. Maka kita harus selalu menjaganya, memperlakukannya dengan baik sebagai sesama ciptaan Tuhan yang mulia. Tetap optimis dalam menjalani musibah, tautkan hati dan percaya hanya kepada-Nya. Tamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun