Mohon tunggu...
Tri Mulyati
Tri Mulyati Mohon Tunggu... Guru - senang berpikir dan menulis

tak pernah berhenti berpikir. Memiliki lansekap imajinasi yang kaya. Senang mengamati kehidupan. Introvert yang kadang berpura-pura menjadi ekstrovert...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tersesat di Gunung Ciremai

23 Oktober 2022   01:12 Diperbarui: 23 Oktober 2022   06:52 1394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami pun tertidur lelap antara kondisi yang capek dan paksaan panitia yang menyuruh kami segera tidur, bahkan panitia berkeliling untuk memastikan semua peserta tertidur. Begitupun Aku dan Ani, kami tidur bersebelahan berdempetan satu sama lain dengan posisi Aku yang berada paling pojok di dalam. Rasanya sakit kepalaku pun sudah tak terasa lagi, entah karena kantuk dan capek atau karena memang sudah sembuh. Waktu berlalu meBegitu lelapnya aku tertidur, sampai aku tak sadar Ani yang tidur berdempetan di sebelahku sudah tidak ada. Sambil terkaget-kaget antara sadar dan tidak sadar karena menahan kantuk, aku dibangunkan oleh panitia yang masuk ke dalam tendaku. Aku dibangunkan dan ditarik keluar tenda, disuruh berdiri dan diminta untuk mengumpulkan nyawaku agar sepenuhnya sadar dari tidurku. 

Sejenak 2 panitia yang berada di hadapanku menungguku untuk menyadarkan diri, sementara aku melihat satu orang lagi panitia berdiri agak jauh yang juga memandangku. Lalu satu panitia dihadapanku bertanya, "gimana udah sadar belum?" tanyanya padaku, lalu ku jawab dengan agak terpaksa "sudah ka". Kemudian panitia satunya bertanya lagi, "ini berapa Nis?" sambil mengacungkan 3 jari kepadaku. "Tiga ka", jawabku langsung. "Oke, berarti kamu sudah sadar ya? Nah sekarang harus bawa senter. mana senter kamu?", "ini ka", timpalku sambil mengeluarkan senter kecilku dari saku baju. "Oke, sekarang kamu saya kasih perintah, kamu harus berjalan kaki menuju lapangan kemah yang di atas. Lapangan kemah yang awal kita mendirikan tenda. Tau kan?" tanyanya padaku. Aku mengangguk, karena tak lama sebelum tidur kami berpindah dari lapangan yang dimaksud menuju lapangan kemah yang ini. Seingatku tidak terlalu jauh, dan masih terbayang jalannya. 

Namun, saat aku akan bergerak maju, kakak panitia menahanku dan berkata,"sebentar, belum selesai. mana sini syal kamu?" ku berikan syal yang selama ini melingkar di leherku. Tiba-tiba saja dua panitia tersebut melipat syal dan melilitkannya di kepalaku, diikatnya menutupi mataku. Lalu mereka berdua memutar tubuhku beberapa putaran, kemudian memapahku maju berjalan beberapa langkah. 

Setelah itu mereka membuka syal penutup mataku. "Ayo jalan maju, ingat perintahnya!". Aku yang baru bisa membelalakan mata kembali setelah sekian menit ditutup mata dan diputar-putar, tentulah merasakan linglung. Sejenak berdiam memaksakan diri untuk sadar, sambil tetap memegang senter Aku mulai sedikit demi sedikit berjalan maju. Di belakangku terlihat tinggal satu orang panitia yang tadi memberi perintah terakhir. 

Namun, samar-samar aku mendengar suara tak jauh berkata, "Ayo cepetan, jangan khawatir di sekelilingmu ada panitia". Suara itu hanya terdengar saja tanpa terlihat siapa yang mengatakan, tapi itu menjadikanku percaya bahwa Aku berjalan di tengah hutan malam-malam begini pastinya dalam pengawasan para panitia. 

Sesekali kakiku tersaruk mengenai gunungan daun kering yang tertabrak kaki. Tersentak Aku pun segera mengambil arah lain, karena aku percaya jika menabrak daun kering yang menggunung itu artinya yang ku lewati bukanlah jalan setapak yang biasa dilewati. Sesekali Aku sedikit merangkak karena medannya sedikit menanjak dan berkelok. Belum lagi tubuhku yang sebenarnya belum begitu sadar 100 persen, membuatku sedikit masih linglung. 

Tapi perasaanku sebaliknya, dibalik sedikit rasa takut, rasa optimis dan semangatku lebih besar aku rasakan. Dalam kesunyian aku melanjutkan perjalanan, hanya bermodalkan senter di tangan. ya, senter kecilku yang bisa masuk di saku bajuku. 

Lambat laun Aku menghentikan langkah kaki, menatap ke segala penjuru mengamati setiap jengkal sudut yang bisa kutangkap lewat mataku. Seingatku ini adalah lapangan kemah atas yang sebelumnya kami mendirikan tenda. Samar-samar Aku mengamati sekeliling, terlihat sedikit jelas pemandangan lapangan karena tersorot sinar bulan purnama. 

Aku ingat betul sekeliling tempat ini, karena tempat ini adalah tempat terlama kami transit dibandingkan dengan lapangan kemah kedua. Juga saat kami tiba di lapangan ini saat itu masih waktu ashar, sehingga setiap sudut lapangan setidaknya aku hafal karena pernah melihatnya dengan jelas. Hanya saja ada yang membuatku aneh, kenapa aku tak melihat ada seorang pun di sana?

Tiba-tiba saja suasana terasa begitu sunyi mencekam. Angin pun seolah mendadak berhenti. Tak ada sedikitpun suara, hanya hembusan nafasku saja yang sesekali terdengar. Lama Aku terdiam mengamati suasana, kurang lebih 10 menit berdiri mematung sendirian. Pikiranku berputar mencari jawaban, seharusnya sudah ada orang di sini, atau setidaknya ada panitia yang menyambutku di sini. 

Atau, jika Aku orang pertama yang naik ke lapangan ini, setidaknya interval waktu tidak akan selama ini untuk Aku kemudian bertemu dengan orang berikutnya di belakangku. Seketika Aku berpikir ulang, apakah Aku salah tempat? Apakah Aku salah mendengar perintah? Lalu Aku tengok ke arah perkemahan bawah yang juga hampir tidak terlihat lagi itu, sama sekali tak nampak ada tanda-tanda orang di sana. Aku bingung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun