PROGRAM INVESTASI HIJAU DARI KACAMATA PETANI
Ada kata "hijau" dalam istilah Investasi Hijau. Secara filosofi, warna hijau melambangkan kesuburan, kemakuran, kesejahteraan, kedamaian. Hijau bisa diasosiasikan dengan lingkungan hidup, yang di dalamnya mencakup dunia pertanian dan perkebunan. Hijau juga berhubungan erat dengan penghijauan, yaitu proses peremajaan tanaman di hutan gundul, lahan kosong, termasuk pembuatan taman di daerah perkotaan.Â
Dengan demikian, program Investasi Hijau yang dicanangkan oleh ajang Presidensi G20 dan Bank Indonesia (BI) mencakup masyarakat paling bawah, yaitu petani. Terlebih Indonesia adalah negara agraris, yang mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah bercocok tanam.
Salah satu isu penting yang dibahas dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 adalah antisipasi terjadinya krisis pangan dunia. Krisis ini terjadi tidak saja diakibatkan oleh pandemi Covid-19, tetapi juga disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor yang dapat dikendalikan (controllabe factors) maupun faktor yang tidak dapat dikendalikan (uncotrollable factors).
Faktor yang di luar kendali manusia seperti: terjadinya perang, bencana alam, kekeringan (kemarau panjang), konflik sosial, krisis politik, keamanan, Inflasi, krisis moneter, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang berada dalam kendali manusia adalah terkait mental dan budaya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan program Investasi Hijau yang dicanangkan oleh Bank Indonesia salah satunya adalah merubah pola pikir dan perilaku masyarakat (terutama petani), bekerjasama dengan berbagai instansi, lembaga, perusahaan dan stakeholder lainnya. Â
Mengantisipasi krisis pangan tidak cukup dengan kegiatan kampanye, seminar, pelatihan, maupun pemberian bantuan atau pembiayaan. Yang paling mendasar adalah membenahi pelaku utama (subyek) dari program Investasi Hijau, salah satunya adalah petani. Sekiranya petani Indonesia dapat bekerja secara produktif dan efektif, maka ketahanan dan stabilitas pangan akan terjaga. Tidak perlu lagi negara kita melakukan impor bahan pangan maupun sampai terjadi krisis pangan.
Perubahan Mental dan Perilaku
Salah satu faktor pemicu krisis pangan adalah faktor yang berada dalam kendali manusia (controllabe factors), yaitu yang menyangkut mental dan perilaku petani, di antaranya adalah:
1) Petani adalah pekerjaan "rendahan"
Inilah paradigma yang menjangkiti sebagian besar generasi muda Indonesia, terutama anak-anak petani. Menurut mereka, menjadi seorang petani adalah pekerjaan remeh, tidak bergengsi, tidak banyak uangnya, pekerjaan kotor, dan berbagai mindset negatif lainnya. Oleh karena itu, petani Indonesia didominasi oleh kaum tua yang sebagian besar sudah tidak produktif lagi. Akibatnya, tidak sedikit lahan atau kebun yang terbengkelai, dibiarkan menganggur tanpa menghasilkan produk pertanian. Bahkan, tidak sedikit lahan pertanian yang kemudian dijual dikarenakan tidak ada generasi penerus yang mau menggarapnya.