Mohon tunggu...
Trijulia Shana
Trijulia Shana Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

my choices, my life

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran - Jokowi Memilih Suket Teki

21 Mei 2023   11:55 Diperbarui: 21 Mei 2023   12:14 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki."

Lagu itu pas banget dijadikan backsound pertemuan Mas Gibran dengan Pak Prabowo Subijanto. Pertama, lagu itu dibuat dan dinyanyikan orang Solo. Terus, hampir seluruh rakyat Indonesia tahu lagu itu dan sangat fenomenal. Bahkan nyaris seluruh warga Indonesia secara spontan akan nyuplik lagu itu, khususnya pada bait "tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki" ketika melihat sebuah pengkhianatan. Ya, kita memang sangat cerdas untuk menjadi orang ketiga. Yaitu pihak yang merasa tahu bahagianya orang pertama sekaligus derita orang kedua.

Jika Gibran - Prabowo adalah orang pertama, ditambah dengan Jokowi. Maka Mega adalah orang kedua. Apakah berarti Mega tersakiti lantas menjadi orang yang dikhianati? Rasanya nggege mangsa, terlalu terburu-buru jika kita mengeluarkan penilaian seperti itu. Meski pun sebenarnya kita sudah tahu apa yang terjadi saat melihat foto dan berita pertemuan Gibran - Prabowo. Tapi kan ini politik, ruang yang secair air dan selentur karet. Jangankan belum mewujud, sudah menjadi kebijakan saja bisa diubah atas kehendak politik. 

Celakanya, kemampuan masyarakat kita untuk memahami fenomena politik itu sudah seperti pengamat. Mereka akan angkat topi kepada politisi-politisi cerdik yang memiliki strategi-strategi cantik, dan akan muak kepada politisi karbitan yang sok-sokan. Masyarakat kita itu punya mata punya telinga. Mereka juga punya hati untuk menilai dan merasa. Dan yang paling penting, mereka punya bekal pengetahuan berbasis kearifan lokal yaitu ilmu titen.

Masyarakat itu niteni, menilai sejak jauh-jauh hari bahwa Prabowo itu adalah lawannya Jokowi. Bukti sederhananya, selama Pilpres kemarin berapa kali Prabowo nyoblos Jokowi? Selama dua kali Pilpres, berapa kali Prabowo melindungi Jokowi? Apakah Prabowo juga melindungi Jokowi ketika dituduh PKI? Apakah Prabowo marah dan emosi ketika Jokowi dicaci maki lalu dikatai plonga-plongo dan dungu? Sebaik-baiknya Prabowo saat ini, dialah orang yang paling tidak ingin Jokowi memimpin Republik ini selama dua kali.

Sebenarnya saya malu ngomong seperti itu. Ibaratnya nguyahi segara, ngasih garam ke lautan. Percuma. Jokowi tentu lebih punya lebih banyak stok garam dibanding saya. Tentu dia sudah mempertimbangkan banyak hal sampai akhirnya mempersilakan putranya memberi dukungan kepada Prabowo sebagai calon presiden. Sudah barang tentu Jokowi memiliki kemuliaan yang tidak dimiliki banyak orang, sampai akhirnya dia membiarkan putranya menjadi "murid" musuhnya. 

Tapi sebagai pengingat, kita juga memiliki begitu banyak kisah dan falsafah. Mungkin kisah Baratayudha cocok kita jadikan gambaran untuk menyimak fenomena saat ini. Meski Baratayudha cuma kisah sastra dan menjadi sebuah lakon pewayangan, tapi dia diciptakan atas pembacaan gejala-gejala kehidupan yang sampai saat ini masih dijadikan rujukan.

Sebelum pertempuran Baratayudha dimulai, Begawan Dorna mengkampanyekan perdamaian antara Pandawa dan Korawa. Gerakan rekonsiliasi atas nama persaudaraan. Kampanye itu sekilas memang terasa seperti angin surga. Wrekudara dan Janaka pun sampai tergoda. Bahkan dua bersaudara dari Pandawa itu merelakan dirinya menjadi jembatan utama agar cita-cita mulia itu terlaksana.

"Semar harus mati sebagai tumbal perdamaian," kata Dorna kepada Wrekudara dan Janaka.

Kampanye perdamaian dan cita-cita rekonsiliasi Begawan Dorna itu cuma dusta. Dorna cuma berupaya menghancurkan sumber-sumber kekuatan Pandawa. Dengan membunuh Semar, Pandawa bakal kehilangan separuh lebih dari kekuatannya. Karena Semar adalah pamomong, Semar adalah pembimbing utama bagi Pandawa selain Kresna dalam menata perdamaian maupun peperangan. Di tangan mendiang dalang Seno Nugroho, Wrekudara dan Janaka berhasil disadarkan oleh Bagong. Sosok yang tidak memiliki kepentingan atas terjadi atau tidaknya peperangan Baratayudha. 

Kepada dua Pandawa bersaudara itu Bagong mengingatkan bagaimana tabiat Begawan Dorna yang selalu ngemut mawa. Karena sebaik-baiknya Dorna, dia adalah gurunya Korawa, gurunya orang-orang pembuat onar dan angkara. Apakah begawan seperti itu layak digugu lan ditiru? Hanya Gibran dan Jokowi yang tahu jawabannya. eh maaf, maksud saya hanya Wrekudara dan Janaka yang bisa menjawabnya.

"Tak tandur pari, jebul thukule malah suket teki. Weleh weleh weleh," kata Semar sambil ngasih satu bungkus rokok kepada Bagong.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun