Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keajaiban Imajinasi

25 Mei 2024   07:15 Diperbarui: 11 Juni 2024   20:39 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Dari perbincangan santai dengan dua sesepuh Satupena Jawa Timur, tertuanglah tulisan ini. Kedua tokoh tersebut adalah Bapak Slamet HK (ketua dewan penasehat Satupena) dan Bapak Akaha TA (ketua Satupena). Beliau berdua adalah dedengkot literasi di Jawa Timur. Tentu saja ini penilaian subyektif saya. Siapakah orang yang bisa punya pemikiran benar-benar obyektif? Jadi mohon dimaklumi.

Inilah salah satu topik obrolan santai di serambi rumah, yakni mengenai 'pikiran'. Pikiran adalah identitas manusia yang paling sejati. Oleh karena itu, berupaya untuk memiliki pikiran yang mampu bekerja secara merdeka, independen dan obyektif, serta bebas dari segala bentuk setting dan framing, merupakan perjuangan hidup yang sejati pula.

Schopenhauer, filusuf Jerman pada masa lampau, pernah mendalilkan bahwa logika itu hanya kulit luar dari sesuatu yang lebih dalam dan luas. Apa yang lebih dalam dan luas itu? Dia menyebutnya itulah hati.

Dari hasil riset para pakar neurosains dewasa ini, rupanya dugaan Schophenhauer itu tepat. Tempat logika hanya bagian tipis di prefrontal lobe. Tempat untuk menganalisa, meneliti, memilah, menimbang, dan memutuskan sesuatu itu, hanya di bagian lapisan luar dari otak secara keseluruhan.


Nah, dalam filsafat Jawa, seperti yang diuraikan Pak Slamet, ada tiga tingkatan pemikiran yang bukan hanya sebatas logika. Selaras dengan neurosains, sebagian besar otak kita, di bagian tengah, disebut parietal lobe. Di situlah peran segala rasa dan emosi bertempat, yang disebut sebagai kalbu. Jadi bukan di hati atau di jantung. Apabila otak itu adalah hardware, maka pikiran dan perasaan itu adalah software-nya. Keduanya adalah produk dari otak.

Berpikir kritis rupanya sudah menjadi tradisi para leluhur kita sejak dahulu kala. Mengolah rasa itu sama halnya dengan mengolah pikiran, sehingga bisa melahirkan kesadaran bahwa 'rasa' menjadi urusan yang jauh lebih penting ketimbang logika.

Sialnya, pikiran pun pada akhirnya menjadi arena pertarungan bagi dirinya sendiri. Imam Ghazali pun menasehatkan agar meragukan hasil pikiran. Dalam neurosains terbukti bahwa pikiran itu memang mudah sekali dimanipulasi. Baik dengan cara disugesti, dihipnotis, digendam, atau dirangsang dengan obat-obatan kimiawi seperti narkoba misalnya.

Dengan demikian, pokok segala persoalan kehidupan itu adalah di pikiran, dan oleh karena itu, pikiran menjadi identitas manusia yang paling hakiki. Diawali dengan meragukan segala sesuatu, dengan berani dan sungguh-sungguh, maka diharapkan manusia akan mampu mencapai, atau paling tidak mendekati kebenaran sejati.

Pak Slamet, pelukis dan pemilik OBS (Omah Budaya Slamet) di Batu itu juga menyinggung Rene Descard, filusuf yang populer dengan motto 'Cogito ergo sum'. Saya berpikir maka saya ada. Jadi manusia yang tidak berpikir pada hakikatnya dia tidak ada. Eksistensinya diragukan, tidak penting atau tidak bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun