Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tanpa Gendang Telinga, Mahakarya Indah Tercipta

11 Mei 2024   15:20 Diperbarui: 12 Mei 2024   05:21 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Oleh: Tri Handoyo

Dari atas langit, cahaya bulan tercurah mengguyur bumi. Sunyi menggerayangi sekujur tubuh malam. Dengan begitu khusuknya, lelaki yang dijuluki 'Raja musik' itu sedang menjengkali memori. Seraya jari-jemari lentur dan teratur menari di atas tuts-tuts piano, memainkan not-not yang baginya senyap. Betapa tragis, tatkala itu gendang telinganya sudah sepenuhnya tak berfungsi lagi. Ia tuli dari segala bunyi.

Kendati demikian, imajinasinya masih lincah mengembara, kembali ke titik perjumpaannya dengan cinta sejati. Ia rangkai ulang masa penuh gairah yang gegap gempita, lalu terciptalah alunan nada indah.

Lelaki itu tidak lain adalah komposer hebat, Ludwig Van Beethoven. Kelak alunan simponi ungkapan isi hatinya itu diberi judul 'Fur Elise', dan menjadi salah satu karya monumental nan agung. Mahakarya yang terus bergentayangan abadi di muka bumi.

Di penghujung usianya, tepatnya Mei 1824. Di Royal Court Theatre of Vienna, Austria. Berkumpulah para keluarga bangsawan kerajaan, kaum elit serta para pakar seni. Mereka hendak menyaksikan sebuah acara konser spesial Sang Maestro terkenal.

Antusiasme akan pertunjukan begitu tinggi. Mengingat bahwa Beethoven sudah lama tidak pernah tampil di atas panggung. Sudah sekitar 12 tahun. Tentu akibat gangguan pendengaran yang dideritanya.


Seluruh gedung terasa mencekam saat Beethoven berjalan naik ke podium, di depan sebuah orkestra terbesar, untuk sebuah konser yang paling spektakuler di abad itu. Sang maestro telah berdiri memimpin para musisi dengan hasrat yang meluap-luap tak terkendali, bak ombak lautan yang menggempur bibir pantai.

Dengan posisi membelakangi penonton, ia menggerakan badan, menggoyangkan lengan dan melambaikan jemari, menggembalakan irama dengan segala cara. Sangat impresif dan ekspresif. Gayanya yang menghentak penuh semangat itu membuat banyak audiens terhenyak.

Begitu asyiknya, sehingga di akhir lagu, Beethoven masih terus terlena menggoyang-goyangkan tangan. Salah seorang solois, Caroline Unger, lalu mendekati dan membalikkan badannya. Baru 'Raja diraja musik' itu bisa melihat tepuk tangan luar biasa dari seisi gedung. Suasana yang sangat mengharukan.

Pada saat itu, pendengarannya memang sudah mendekati tuli total. Tentu itu adalah kiamat bagi dunia seorang komposer musik. Ia pun mengalami frustasi berat di sisa kehidupannya.

Kembali ke masa lima puluh empat tahun yang lampau, tepatnya tahun 1770. Saat itu Beethoven dilahirkan di kota Bonn, Jerman. Sejak kanak-kanak bakat musiknya yang luar biasa sudah terlihat menonjol. Sehingga di usia remaja ia nekad hijrah ke Wina untuk memperdalam ilmu musik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun