Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Tanpa Gendang Telinga, Mahakarya Indah Tercipta

11 Mei 2024   15:20 Diperbarui: 12 Mei 2024   05:21 426 41

Oleh: Tri Handoyo

Dari atas langit, cahaya bulan tercurah mengguyur bumi. Sunyi menggerayangi sekujur tubuh malam. Dengan begitu khusuknya, lelaki yang dijuluki 'Raja musik' itu sedang menjengkali memori. Seraya jari-jemari lentur dan teratur menari di atas tuts-tuts piano, memainkan not-not yang baginya senyap. Betapa tragis, tatkala itu gendang telinganya sudah sepenuhnya tak berfungsi lagi. Ia tuli dari segala bunyi.

Kendati demikian, imajinasinya masih lincah mengembara, kembali ke titik perjumpaannya dengan cinta sejati. Ia rangkai ulang masa penuh gairah yang gegap gempita, lalu terciptalah alunan nada indah.

Lelaki itu tidak lain adalah komposer hebat, Ludwig Van Beethoven. Kelak alunan simponi ungkapan isi hatinya itu diberi judul 'Fur Elise', dan menjadi salah satu karya monumental nan agung. Mahakarya yang terus bergentayangan abadi di muka bumi.

Di penghujung usianya, tepatnya Mei 1824. Di Royal Court Theatre of Vienna, Austria. Berkumpulah para keluarga bangsawan kerajaan, kaum elit serta para pakar seni. Mereka hendak menyaksikan sebuah acara konser spesial Sang Maestro terkenal.

Antusiasme akan pertunjukan begitu tinggi. Mengingat bahwa Beethoven sudah lama tidak pernah tampil di atas panggung. Sudah sekitar 12 tahun. Tentu akibat gangguan pendengaran yang dideritanya.

Seluruh gedung terasa mencekam saat Beethoven berjalan naik ke podium, di depan sebuah orkestra terbesar, untuk sebuah konser yang paling spektakuler di abad itu. Sang maestro telah berdiri memimpin para musisi dengan hasrat yang meluap-luap tak terkendali, bak ombak lautan yang menggempur bibir pantai.

Dengan posisi membelakangi penonton, ia menggerakan badan, menggoyangkan lengan dan melambaikan jemari, menggembalakan irama dengan segala cara. Sangat impresif dan ekspresif. Gayanya yang menghentak penuh semangat itu membuat banyak audiens terhenyak.

Begitu asyiknya, sehingga di akhir lagu, Beethoven masih terus terlena menggoyang-goyangkan tangan. Salah seorang solois, Caroline Unger, lalu mendekati dan membalikkan badannya. Baru 'Raja diraja musik' itu bisa melihat tepuk tangan luar biasa dari seisi gedung. Suasana yang sangat mengharukan.

Pada saat itu, pendengarannya memang sudah mendekati tuli total. Tentu itu adalah kiamat bagi dunia seorang komposer musik. Ia pun mengalami frustasi berat di sisa kehidupannya.

Kembali ke masa lima puluh empat tahun yang lampau, tepatnya tahun 1770. Saat itu Beethoven dilahirkan di kota Bonn, Jerman. Sejak kanak-kanak bakat musiknya yang luar biasa sudah terlihat menonjol. Sehingga di usia remaja ia nekad hijrah ke Wina untuk memperdalam ilmu musik.

Wina, andaikata musik itu agama, maka kota itu layak disebut kiblatnya. Sebab di tempat itulah para komposer jempolan bermunculan. Sebut saja, Wolfgang Amadeus Mozart, Johan Strauss, Joseph Hayden, Antonio Vivaldi, hingga kelak yang patut dianggap nabinya musik, yakni Ludwig Van Beethoven itu sendiri.

Kota Wina terletak di lembah Sungai Donau, di kaki Pegunungan Alpen, Austria. Sebagai pemain piano, di tempat baru itu Beethoven sudah mampu membuat tiap pendengamya terhipnotis.

Dalam waktu singkat ia sudah menjelma menjadi pencipta musik yang produktif. Karya-karyanya senantiasa mendapat sambutan luar biasa.  Menginjak umur dua puluhan, dia sudah menerbitkan dan menjual buku-buku karyanya tanpa ada sedikit pun hambatan yang berarti.

Malang baginya, ketika berumur mendekati empat puluhan, gejala ketuliannya mulai timbul. Tak dapat dipungkiri lagi itu sangat merisaukan dan membuatnya sangat depresi. Ia pun sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun kecinttannya pada musik menolong menjauh dari pikiran negatif itu.

Antara tahun 1802 sampai tahun 1815, sebetulnya merupakan masa gemilang karier Beethoven. Akan tetapi, akibat ketuliannya yang semakin parah, ia mulai menarik diri dari pergaulan masyarakat. Sebuah nasib yang tragis, bahwa seorang komponis paling brillian sepanjang jaman harus tertimpa musibah tunarungu. Kendati demikian, Beethoven dengan tekad bulat terus mencipta dan menjaga kualitas karya musiknya.

Sebuah realitas yang lebih menakjubkan khalayak, dia mampu menciptakan karya yang tidak sekedar setara dengan apa yang dihasilkan sebelumnya, melainkan saat itu justru karyanya dianggap sebagai mahakarya terbesarnya.

Beethoven berjasa membuat musik instrumental tak bisa lagi dipandang cuma bernilai seni nomor dua. Ini dibuktikan dari komposisi yang dirangkainya telah sukses mengangkat musik instrumental ke level yang amat terhormat.

Beethoven benar-benar seorang pencipta orisinal dan otentik, yang inovasinya membuka babak transisi dari musik klasik ke musik bergaya romantik. Karyanya merupakan sumber ilham yang daya pengaruhnya menghujam kuat pada diri komponis-komponis generasi yang muncul sesudahnya.

Nah, kembali ke soal 'Fur Elise' yang merupakan salah satu karya tersohor dan mengandung banyak misteri. Karya itu baru dirilis pada 1867, yaitu sekitar 40 tahun setelah kematian sang legendaris.

Ludwig Nohl, seorang sarjana musik Jerman, yang menemukan manuskrip itu dan dia pula yang menerbitkannya dalam 'Neue Briefe Beethovens' atau 'Surat Baru Beethoven'.

Publik tahu Beethoven secara perlahan kehilangan indra pendengarannya sejak tahun 1810. Sebelum akhirnya terus memburuk hingga sepenuhnya tuli di usianya yang ke 44 tahun.

Oleh sebab itu, para ahli memperkirakan Beethoven menulis 'Fur Elise' di titik saat gendang telinganya sepenuhnya tak berfungsi. Kondisi inilah yang diduga menyebabkan komposisi ini memiliki nada yang relatif tinggi.

Ada dugaan sebenarnya Beethoven belum merasa puas dengan karyanya yang satu itu, sehingga 'Fur Elise' tak pernah dipublikasikan hingga ajal lebih dulu menjemputnya. Bisa jadi.

Komposisi itu disebut-sebut dibuat berdasarkan kisah cinta tragis sang maestro. Sebab, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti "Untuk Elise'. Judul tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, siapa sebenarnya Elise itu?

Walaupun ia mengalami beberapa kali kegagalan dalam hubungan asmara, tapi ia tak pernah putus asa. Sempat dikabarkan pada tahun 1812, Beethoven menulis surat yang ditujukan ke 'The Immortal Beloved'. Penulis biografi Beethoven masih berupaya menemukan siapa perempuan misterius di balik surat itu. Sayangnya, sampai sekarang, gadis yang dimaksud itu masih tetap misterius.

Pada tahun 1801, cinta pertama Beethoven jatuh kepada Countess Julieta. Dia adalah salah satu murid yang sangat cantik, cerdas dan menawan hati. Sampai karya indah berjudul 'Moonlight Sonata' tercipta.

Sayangnya, cintanya itu kandas, dan itu bukan satu-satunya pengalaman kisah cintanya yang kelam. Sedikitnya ada tiga nama lainnya yang meninggalkan kesan mendalam di dalam jiwa Beethoven, yang banyak menginspirasi penciptaan karya-karyanya di kemudian hari.

Pada tahun 1810, Beethoven bertemu dengan Therese Malfatti. Seorang gadis anggun, lemah lembut dan penuh pesona. Gadis yang baru berusia 18 tahun itu adalah putri dari seorang bangsawan yang bekerja sebagai dokter.

Beethoven harus menerima kegagalan yang sama. Orang tua Therese tidak merestui hubungan mereka. Perbedaan status antara Therese yang bangsawan dan Beethoven yang rakyat biasa membuat hubungan itu berakhir dan meninggalkan luka dalam.

Ada beberapa spekulasi mengenai siapa sebenarnya sosok Elise yang dimaksud. Versi yang paling umum diketahui publik, Elise yang dimaksud adalah gadis bernama Therese Malfatti itu. Karena dia adalah satu-satunya wanita yang pernah dilamar oleh Beethoven. Therese ternyata lebih memilih menikah dengan bangsawan Austria, Wilhelm von Drossdik.

Itulah kenapa ada yang berpendapat bahwa judul komposisi itu sebetulnya adalah 'Fur Therese'. Namun, Nohl membuat kesalahan dalam membaca tulisan Beethoven sehingga menjadi 'Fur Elise'.

Spekulasi kedua berpendapat, Elise adalah seorang sopran asal Jerman, bernama lengkap Elisabeth Roeckel. Konon, Elisabeth pernah memerankan Florestan dalam opera Beethoven. Dari pertemuan yang dilakukan pada saat itu membuat Beethoven terjerat tali asmara.

Sebelum Beethoven sempat mengungkapkan isi hatinya kepada Elisabeth, wanita baik hati itu dinikahi oleh teman dan saingan Beethoven, Johann Nepomuk Hummel.

Kendati semua itu hanya spekulasi, namun kisah cinta Beethoven dan Elise telah menjadi salah satu kisah yang melegenda hingga saat ini.

Bagaimanapun juga, Beethoven adalah komposer jenius dengan hasrat, daya cipta dan imajinasi yang luar biasa. Dengan ambisi dan keyakinan kuat bahwa selain dapat menjadi alat mengekspresikan gagasan dan perasaan, musik juga memiliki makna yang jauh lebih dalam dan luas dari itu.

Pada saat yang sama, ia juga memiliki sederet reputasi sebagai orang yang egois, emosional, temperamental, kontroversial, narsistik, tidak ramah, frustrasi dalam hal romantika, tidak terawat, mudah tersinggung, hipokondriak, dan pecandu alkohol akut. Depresi berat memang menggiringnya semakin terjerumus dalam kecanduan minuman keras.

Publik barangkali memang lebih menyukai citra seorang seniman yang tersiksa dan menderita oleh kekacauan kepribadian dan penyakit-penyakit fisiknya, di samping sekaligus memuja-muja kehebatannya.

Surat Beethoven yang pernah mengeluh soal kesehatan dan kondisi keuangan menunjukan bahwa ia mendedikasikan dirinya sepenuh hati pada musik di atas segalanya. Ia sanggup menjalani penderitaan demi musik, dengan kemampuan menciptakan karya yang berada di luar imajinasi manusia pada umumnya, membuat sosok Beethoven terlihat seperti bukan makhluk bumi ini.

Ia tidak hanya tetap berkarya, tapi juga menciptakan karya yang paling ekspresif, mengguncang, mengharukan, eksperimental, dan fenomenal. Ia memutuskan bahwa hidup harus terus berarti dan bernilai. Meski tuli, instrumen Beethoven yang paling utama adalah kekuatan otaknya.

"Anda harus ingat bahwa musisi sangat bergantung pada imajinasi mereka, bahwa mereka dapat mendengar suara di kepala mereka," tutur Prof Tunbridge, penulis biografi Beethoven, "Mungkin dia tidak bisa mendengar dunia luar, tetapi tidak ada alasan untuk berpikir bahwa kemampuan mendengarkan musik dalam pikirannya memburuk atau kreativitas musiknya berkurang!"

Tiga tahun setelah konser sukses terbesarnya di Royal Court Theatre of Vienna, di usianya yang ke 57 tahun, sang legendaris mistis itu meninggal dunia. Orang yang berkabung jauh lebih besar dibanding pemakaman tokoh mana pun kalah itu. Sekitar 20.000 warga Wina dan sekitarnya mengiringi jenazahnya menuju pemakaman. Sang legenda telah bersemayam di alam musik sejati yang kekal abadi.

Di awal musim semi yang anggun, diiringi alunan nada-nada indah Fur Elise, dan udara sejuk menyelimuti area Heiligenstadt, di mana bangunan berwarna krem yang dikenal sebagai Museum Ludwig Van Beethoven, berdiri megah penuh pesona.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun