Mohon tunggu...
TRI HANDITO
TRI HANDITO Mohon Tunggu... Guru - Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Agar hatimu damai, tautkankanlah hatimu kepada Tuhanmu dengan rendah hati.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Quiet Quitting: Ketidakpuasan yang Tertahan

9 November 2022   21:19 Diperbarui: 9 November 2022   22:24 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://hrdailyadvisor.blr.com/app/uploads/sites/3/2022/09/shutterstock_2203706539.jpg

Coba kita sama-sama amati lingkungan sekitar kita! Apakah fenomena quiet quitting sudah menjangkiti komunitas organisasi atau lembaga di sekitar kita? Kalau hanya satu atau dua orang saja yang terjebak pada quiet quitting tentu keseimbangan dalam organisasi tidak akan begitu terganggu. 

Namun, bagaimana jika hampir sebagian besar anggota organisasi terjangkit "virus" quiet quitting? Bagi para pemimpin organisasi yang jeli, tentu hal ini menjadi sebuah alarm bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki dalam tubuh organisasinya. Hanya diam dan melakukan tindakan balasan berupa quiet firing sebagai solusi (lebih tepatnya tindakan pembalasan) tentu bukan hal bijak. Malahan justru akan menambah jumlah barisan sakit hati dalam tubuh organisasi!

Bukankah pemimpin menjalankan fungsi task related (berhubungan dengan tugas sekaligus pemecahan masalah) dan fungsi group maintenance (fungsi pemeliharaan kelompok)? Di satu sisi pemimpin harus cakap memecahkan masalah dalam organisasi dan di sisi lain ia harus mampu memelihara solidaritas dalam organisasinya.

Mengutip pernyataan Michael Fullan (2007:129), bahwa kondisi tempat kerja yang menguntungkan secara profesional akan menarik dan mempertahankan orang-orang baik. Oleh karena itu, sepanjang para anggota organisasi masih bisa diperbaiki dan ditingkatkan kinerjanya, mereka layak untuk tetap dipertahankan dan dilakukan perbaikan secara berkelanjutan (sustained improvement).

Dari mana harus memulai proses untuk memperbaiki kondisi organisasi/lembaga yang terjangkit virus quiet quitting? Upaya perbaikan bisa dimulai dengan cara mengurai ketidakpuasan. Ketidakpuasan menjadi variabel penting dalam fenomena ini. Mengapa ketidakpuasan? Coba kita cermati kembali temuan Gallup di atas! Dari temuan Gallup tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab terjadinya fenomena quiet quitting adalah adanya ketidakpuasan, yaitu :

  • ketidakpuasan terhadap harapan dan aspirasi yang belum tersalurkan dengan baik,
  • ketidakpuasan terhadap kesempatan untuk belajar dan tumbuh,
  • ketidakpuasan terhadap faktor perhatian, serta
  • ketidakpuasan terhadap faktor yang berhubungan dengan misi/tujuan organisasi

Setelah mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, lalu apa yang harus dilakukan oleh para pemegang kebijakan dalam organisasi? Cara yang elegan dan beradab untuk memperbaikinya adalah dengan membuka saluran komunikasi dan mencoba mengurainya menjadi sebuah solusi. 

Mengapa komunikasi menjadi penting dalam hal ini? Seorang pemimpin tentu tidak melulu seorang  mekanistik (menggunakan aturan dan SOP sebagai tumpuan bertindak), tetapi juga seorang yang humanistik yang selalu menguatkan hubungan interpersonal dalam mengelola organisasi. Sebuah kajian ilmiah membuktikan bahwa membangun komunikasi interpersonal merupakan upaya yang sangat penting untuk memperkuat kemampuan orang-orang ketika menangani stres dan hambatan di tempat kerja serta mengembangkan hubungan yang efektif dan efisien dengan komponen organisasi yang lain. (Anwar & Fitriani, 2020).

Sebagai seorang yang humanistik, maka ketika ada masalah hal yang dikedepankan adalah pendekatan komunikasi. Jadi, yang harus dilakukan untuk mengurai virus quiet quitting adalah berkomunikasi untuk mengurai ketidakpuasan. Melalui komunikasi, berbagai ketidakpuasan yang terpendam menjadi tersalurkan atau setidaknya ada harapan akan terjadinya perubahan positif. 

Dengan demikian, kinerja para anggota organisasi dapat diperbaiki dan kualitas serta produktivitas organisasi dapat ditingkatkan. 

Akan menjadi sebuah keunggulan kompetitif bagi sebuah lembaga/organisasi jika ia mampu mempertahankan orang-orang baik dan berkualitas. Dan jangan lupa, mengutip penyataan Hill (Saitis & Saiti, 2017), bahwa keunggulan kompetitif hanya dapat dipertahankan dengan cara kepemimpinan strategis dan kinerja organisasi yang maksimal sebagai bagian dari proses untuk mencapai tujuan jangka panjang organisasi.

Epilog

Fenomena quiet quitting memang ada dan mungkin akan selalu ada. Namun, akan menjadi masalah besar manakala dalam sebuah lembaga/organisasi fenomena tersebut menjadi "virus" yang menyebar secara luas. Jelas hal ini menjadi alarm buruk bagi keberlangsungan dan eksistensi sebuah organisasi/lembaga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun