Essi 288 -- Lalu Harus Bagaimana
Tri Budhi Sastrio
Ya, inilah pertanyaan utamanya ... lalu harus
     bagaimana?
Taat dan setia sudah sejak awal diukir bibir
     merah delima
Walau kadang hati pikiran masih tengok sini
     tengok sana.
Keraguan pun selalu ada, kadang menjulang bak
     menara,
Kadang menyelam ke dasar samudera, tapi
     anehnya ada.
Apakah ini tanda guratan kelemahan nurani hati
     manusia?
Bisa saja walaupun tampaknya tidak terlalu
     benar adanya.
Lemah memang tak perlu ditanya, tapi masih tak
     percaya?
Jelas ini bukan hanya masalah lemah belaka,
     ada lainnya.
Inilah yang kadang semakin direnung semakin
     gelap saja.
Kematian jelas bukan akhir segalanya bagi yang
     percaya,
Tetapi ada apa di sana, juga bagaimana, juga
     harus apa,
Tetap saja selalu ditanya walau jawab rasanya
     sudah ada.
Engkau itu mahakuasa, jadi pasti bisa
     melakukan apa saja
Atau tidak melakukan apa saja ... tergantung
     EngkauNya.
Tetapi justru di sini bertimbun masalahnya bagi
     nalar jiwa.
Kala dicoba memahami bahkan hal yang paling
     sederhana
Eh ... ujung-ujungnya gelap pekat nir-cahaya
     jadi citranya.
Lalu bagaimana jadinya, jika biasa dimanja
     terang cahaya
Tiba-tiba gelap pekat tampak membentang di
     depan sana?
Bagaimana tak gentar walau sabda berulang
     ingatkan jiwa
Bahkan di dalam gelap pekat sekali pun, pasti
     ada cahaya.
Cahaya karena taat setia ... cahaya karena
     teguh percaya.
Kami percaya pada ini sabda, kami bahkan
sangat percaya
Hanya saja mengapa khawatir cemas gentar
     tetap saja ada?
Duh ... Sang Putra ... maafkan hamba,
     manakala tetap saja
Percaya taat setia, yang sejak lama dijadikan
     tekad utama,
Eh, kadang terguncang juga oleh peristiwa biasa
     adat dunia.
Kematian itu milik siapa saja, inilah ketentuanMu
     sang Maha.
Bahkan sang Putra yang diutus datang ke dunia,
     juga sama.
Dia pun mengikuti garis ketentuanMu dengan
     taat dan setia.
Bahkan kala terpaksa bertanya tetap saja Dia
     pada akhirnya
Menyerahkan jiwa raga dan taat pada
     keputusanMu ya Bapa.
Lalu bagaimana bisa kami yang taat percaya
     berani berbeda?
Kami tentu sama, pada kehendakMu diserahkan
     semuanya.
Hari ini, atau esok, atau kapan saja ... pasti taat
     sepenuhnya.
Tak perlu banyak bertanya, intinya silahkan saja
     sang maha.
Garis ketentuanMu garis kami juga, kaki kami
     berada di sana.
Jadi bagi kami tak ada masalah, kami taat,
     sepakat, dan setia.
Tetapi ... tetapi ... duh maafkan kami wahai sang
     mahakuasa
Kadang kala bagi orang yang dicinta, kami ini
     sering tidak rela
Jika terlalu cepat dipanggilnya, mengapa
     engkau tak percaya
Jika kami masih sanggup menjaga dan
     membahagiakannya?
Jangan panggil dia, tidakkah bila garisnya
     digeser sedikit saja
Engkau bisa memberi sedikit waktu guna
     mengisi masa-masa
Yang kala itu entah mengapa serasa buta tak
     menyadarinya
Betapa lama telah menyia-nyiakan dia, yah
     betapa bodohnya.
Kami memang manusia biasa, bukan nabi wahai
     sang maha,
Yang Engkau ijinkan guna melakukan tawar
     menawar segala.
Tetapi biarlah, demi orang tercinta, kami rela jika
     kena murka
Karena berani tawar menawar dengan sang
     Empunya dunia.
Kami ini siap dimurka asal Engkau rela
     mengalah sedikit saja,
Menggeser garis penentu hidup mati dia yang
     amat kami cinta.
Sakitnya mungkin parah luar biasa tapi bukan itu
     masalahnya.
Kami tidak gentar pada sakitnya, itu hal yang
     biasa-biasa saja.
Penyakit hebat mana sih yang bisa membunuh
     anak manusia
Jika Engkau sang penentu tak berkenan dan
     memberi ijinnya?
Tak ada, bukan? Tak ada penyakit, tak ada apa-
     apa di dunia
Bisa mengakhiri hidup manusia jika Engkau tak
     merestuinya.
Semua hanya sarana dan Engkaulah si empu
     penggerakNya.
Karenanya kami tak pernah gentar pada semua
     sarana dunia.
Kami hanya gentar pada titah sabdaMu, bukan
     pada sarana.
Memohon dan meminta itu sudah biasa, tapi
     tawar menawar?
Dengan Pencipta empunya semesta pemegang
     panji berkibar?
Kami tentu tidak punya nyali tidak hormat
     apalagi kurang ajar,
Tetapi demi orang yang dicinta, semangat coba
     nyala dikobar,
Keberanian dipompa agar kepala tengadah dada
     kokoh tegar,
Lalu beranikan diri menghadap Engkau bak
     seorang saudagar
Membawa barang dagangan untuk nantinya
     dijual atau ditukar.
Walau hanya berlagak tetapi ijinkan merasa
     punya nilai tawar
Sehingga layak dikerek tiang tinggi lalu sama-
     sama berkibar.
Begitulah jika saudagar yang sebenarnya tidak
     ikut terdaftar
Memberanikan diri masuk arena lalu bicara
     berkobar-kobar.
Kami punya nilai jual, punya alat tukar, juga
     berani menawar.
Ayo ... ayo ... siapa beli siapa jual, kami ini siap
     membayar.
Tetapi di lain kejab ketika mulai terjaga, mulai
     siuman sadar,
Yah ... ternyata semua yang ada dan tidak
     seberapa besar
MilikNya juga, lalu mana nilai jual dan juga yang
     alat tukar?
Kami tak ada, benar-benar tak punya, walau
     cuma sekedar.
Semua yang ada status titipan karenanya tidak
     bisa ditukar.
Apalagi pada si empunya pemilik titipan itulah
     niatan ditukar,
Benar-benar sangat tidak sopan ... benar-benar
     kurang ajar.
Raga titipan, jiwa juga titipan, pikiran akal,
     nurani dan nalar,
Juga titipan, semua titipan lalu bagaimana bisa
     bekoar-koar
Ingin menawar, ingin menukar ... benar-benar
     perlu dihajar.
Orang yang dicinta, orang yang dikasih, yang
     ingin ditawar
Ternyata juga hanya titipan, titipan sang agung
     maha besar.
Lalu apa yang bisa ditawar, lalu apanya yang
     bisa ditukar?
Sambil menghela nafas panjang sadar siuman
     dari lamunan,
Menggeleng pelan, tertunduk haru, kemudian
     berbisik pelan,
Jika semua memang titipan, dan si Empunya
     dengan sopan
Meminta yang dulu sempat dan pernah
     dititipkan, ya Tuhan,
Apalagi yang bisa dilakukan kecuali senyum
     tanda jawaban.
Semua milikMu Tuhan, Engkau memberi, syukur
     diucapkan,
Engkau mengambil, kami tangkupkan tangan
     persembahan.
Terjadilah kehendakMu, di langit di bumi, itu
     bunyi wejangan.
Dan kami tidak hanya piawai memperhatikan
     mendengarkan
Tetapi juga melaksanakan dan karenanya Dikau
     dimuliakan.
Semoga semua dosa kesalahan berkenan
     Engkau maafkan,
Karena memang ini satu-satunya peluang dan
     kesempatan,
Essi 288 -- tbs/kas - POZ19042014 -- 087853451949
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI