Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi Nomor 156: Kurawa Lima

25 Maret 2021   12:52 Diperbarui: 25 Maret 2021   13:45 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.trenopini.com/2020/12/tahun-tahun-penuh-kebohongan.html

Essi 156 -- Kurawa Lima
Tri Budhi Sastrio

Gerakan melibas Anas semakin hari semakin meluas
     dan jelas-jelas semakin ganas.
Sialnya ini gerakan buas dan ganas,
     pelopornya para petinggi partai yang tidak puas.
Hasil survei mutakhir bikin mereka tidak puas,
     kicauan para pengamat membuat cemas.
Ribuan orang yang ditanya menjawab jelas-jelas
     bahwa mereka semua masih waras,
Karenanya sudah pasti tidak akan pilih lagi
     partai yang kadernya korupsi tanpa batas.
Semua proyek mau disikat, semua anggaran mau diatur,
     semua komisi mau dikuras.
Dari hulu sampai hilir, dan bawah sampai atas,
     semua harus bayar upeti secara pantas,
Kalau tidak ya jangan mimpi dapat proyek yang
     uangnya memang berkelas walau panas.
Makin hari suara mereka makin berterang, jelas, lugas,
     tegas, buas, panas, serta ganas.
Si Raja Minyak yang dulu paling lantang membela
     pak ketua yang kursinya makin panas,
Sekarang juga paling lantang dan paling keras
     serukan Anas ke luar dari ruangan kelas.
Tetapi yang mau dilibas jelas-jelas bukan politisi kelas
     gibas, dia ahli strategi berkelas,
Karenanya seperti ombak membentur karang, suaranya
      memang berdebum amat keras,
Tetapi hilang suara, hilang pula itu daya, air mundur,
     karang tegak, ada memang bekas,
Hanya saja tidak lebih dari pakaian yang baru
     saja dibilas, basah memang tetapi jelas
Kotorannya hilang bablas dibawa air pembilas,
     pakaian tetap gemilang dan berkelas.
Strategi sudah sejak awal diatur, orang-orang kunci
     masing-masing mendapat kertas,
Memang kertas bekas, tetapi nilainya bung ...
     bisa membuat mata berkunang pedas.
Dan ini semua adalah pagar pembatas
     ciptaan bung Anas, si ahli strategi kelas atas.
Karenanya jelas-jelas tak ada yang bisa masuk
     kalau pagar pembatas tidak ikut dilibas.
Tetapi ini pagar pembatas juga berkelas
     dan telah dibuat anti libas, anti serangan ganas.
Untuk sementara Anas jelas tak bisa dilibas,
     kecuali bisa dibawa ke luar pagar pembatas.

Kurawa Lima memang telah tinggal tiga
     setelah yang dua dibuat tak berdaya oleh KPK,
Sang pelari maraton dari Carthagena dan sang
     putri jelita nona pujaan remaja Indonesia,
Memang telah diikat sayapnya, tapi jangan lupa
     Kurawa itu jumlahnya bukan cuma lima,
Bahkan ketika lahir dulu kalau tidak dicegah
     para dewa jumlahnya bisa saja tak terhingga.
Kalau dibiarkan saja lalu bagaimana bisa Pandawa
     yang hanya lima berjaya dalam laga?
Untung pembelahan berkala berhasil dicegah dewa,
     dan hanya ada dsa dasa Kurawa.
Yang lima utama memang tinggal tiga,
     tetapi yang sembilan lima pasti simpan tenaga.
Kalau memang ini strateginya sang Duryudhana ...
     ha ... ha ... ha ... hati-hati saja KPK.
Sembilan puluh lima kesaktian walau cuma
     biasa-biasa saja tetapi jika gabung tenaga,
Perbawanya bisa luar biasa, mungkin sanggup
     gugurkan gunung keringkan samudera.
Juga jangan lupa di belakang mereka semua
     tentu masih ada sang mahacerdik Durna.
Dia mahaguru yang dihormati di mana-mana,
     bahkan Pandawa ketika di hadapannya,
Duduk bersimpuh memberi hormat dan
     haturkan sembah ... nah dia ini apa perannya?
Masih misteri atau sudah terang nyata,
     belum dapat dijawab juga, dan menurut cerita,
Tak ada senjata pusaka, tak ada dewa,
     apalagi manusia yang mampu kalahkan Durna.
Durna hanya bisa dibuat sedih tidak berdaya
     kalau mendengar kabar bahwa putranya
Lebih dahulu pralaya, kemudian dia akan secara
     perlahan membunuh sendiri dirinya.
Nah, sekarang siapa yang menjadi Durna dan dia
     ada di mana, kan kabutnya rahasia?
Kalau dia tidak jelas identitasnya lalu bagaimana
     bisa dibuat menjadi tidak berdaya?
Duryudhana dan dua tangan kanannya saja
     tak cepat bisa dibekuk batang hidungnya,
Apalagi si Durna yang terasa ada tetapi tidak tentu
     rimbanya, makin sulitlah ceritanya.
Gatotkaca, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa
     memang telah ada di medan Kurusetra,
Tetapi resi Durna tidak bisa dibuat tak berdaya
     kalau hanya mengandalkan mereka.
Perlu strategi istimewa dan peran sang Yudistira
     untuk menuntaskan semua rencana.
Yang bikin pening Kresna, Yudistira terus saja
     menolak akali guru yang dihormatinya.
Lho kalau baginda tidak bersedia, bakal habis
     nih semua panglima perang Pandawa.
Tidak satu pun dari yang ada, juga pamanmu ini
     kata Kresna, yang bisa kalahkan dia.
Baginda tidak perlu berdusta, kata Kresna,
     cukup berkata bawa Aswatama telah binasa
Selebihnya biarkan hamba dan para Pandawa
     yang akan segera membereskannya.
Lho mana bisa, Yudistira tetap bersikeras
     tidak bersedia, bagaimana mungkin bisa,
Putra tercinta paman Durna yang sehat-sehat saja
     dikatakan telah mangkat pralaya?
Aswatama yang ini memang bukan putra Durna,
     itu nama gajah kesayangan istana.
Prabu Yudistira tidak biasa berdusta dan memang
     telah berjanji tidak akan berdusta.
Langit boleh runtuh, bumi boleh terbelah, bahkan dia
     dan saudaranya boleh binasa,
Tetapi berdusta tidak akan pernah dilakukan,
     tidak sekarang, tidak nanti, tidak lusa.
Karena Kresna pada akhirnya memang berhasil
     meyakinkan bahwa tak ada dusta
Jika hanya lirih mengatakan bahwa Aswatama
     memang telah pralaya, jika ditanya,
Maka kisah Bharata Yudha bagian ini memang
     ditutup dengan sedih dan merananya
Sang panglima paling perkasa dan digdaya
     andalan Duryudhana, dan ... Pandawa
Boleh bernafas lega, guru mereka pada akhirnya
     pralaya karena hilang semangatnya
Mendengar putra kesayangan penerus kejayaannya
     telah tiada mendahului dirinya.
Peluang mengalahkan Kurawa kembali terbuka
     sekarang tinggal memanfaatkannya.

Karena itu seruannya sebenarnya sederhana saja,
     telah tiba masanya hentikan dusta,
Dan juga pura-pura ... ayo, daripada
     nanti pada akhirnya dilibas juga oleh sang Cakra
Mengapa tidak sekarang saja mulai ambil
     ancang-ancang menghentikan semua drama,
Ubah segera panggung pentasnya, jadikan
     tempat mulia bukan untuk tampilkan dusta,
Tetapi guna beberkan semua yang yah ...
     katakan saja terlanjur dipakai berlama-lama.
Di dunia ini mana ada orang tanpa dosa
     tanpa dusta, dan pengakuan atas ini semua
Jelas langkah awal paling utama dan berharga
     karena dari sana semua bisa bermula.
Samudera penderitaan tampak luas tidak bertepi
     tetapi mereka yang palingkan muka,
Pasti lihat titik kecil suar cahaya pertanda
     ke sanalah seharusnya ini biduk dikayuhnya.
Tak apa gagal di pentas kuasa tetapi berdiri bisa
     tegak dada dan tengadahkan kepala.
Ayo, belum terlambat dan pasti tidak sia-sia ...
     belum terlambat dan pasti tidak sia-sia.

Essi nomor 156 -- POZ08052012 -- 087853451949

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun