"Ingat, Kapten! Anda tidak mempunyai pilihan lain dalam hal ini. Sebenarnya yang kami tuntut ini bukan sesuatu yang akan merugikan anda atau pun penumpang, sepanjang semua mau bekerja sama. Oh, ya, Kapten, mungkin anda khawatir ada di antara para penumpang di kelas utama yang akan melapor dan menuntut kepada perusahaan. Untuk ini anda boleh berlega hati. Mereka tidak akan berbicara apa-apa setelah nanti mereka menerima amplop yang disediakan oleh boss kami. Cuma ...."
"Cuma apa?" tanya sang Kapten dengan nada suara campuran antara heran dan tidak percaya.
"Cuma ada seorang yang merisaukan hati kami. Mungkin dia detektif atau seorang agen khusus. Saya melihatnya menekan pulpen yang ada di sakunya. Kalau pulpen itu bukan alat pemancar khusus, untuk apa ia menekan sebanyak dua kali? Tentu ini bukan suatu kebetulan, Kapten. Maka dari itu saya mohon Kapten mau berjalan ke kabin utama menjemput orang itu. Teman saya Nomor 4 akan menemani. Bukankah sekarang ini anda sedang terbang dengan pilot otomatis?"
"Benar. Dari mana Anda tahu?"
"Saya mempunyai brevet penerbang untuk pesawat sejenis ini, Kapten. Saya pernah berlatih selama setahun di Inggris atas biaya boss kami."
"Hmm, Anda hebat nona! Apakah tidak khawatir saya tiba-tiba akan menyergap nona?"
"Tidak, Kapten."
"Sebaiknya Anda tidak terlalu yakin, nona!"
"Saya yakin sekali, Kapten. Yang pertama, saya tidak begitu mudah untuk disergap. Apakah anda beranggapan mudah menyergap seorang karateka bersabuk hitam? Tentu tidak, bukan? Alasan yang kedua tentunya karena kotak ini. Anda tentu kenal dengan detonator gelombang radio sejenis ini, bukan? Saya hanya memerlukan waktu kurang dari satu detik untuk memijit tombolnya, dan Anda tentu tahu akibatnya. Ada tiga buah peledak semacam ini di dalam pesawat Anda, Kapten."
Setelah berhenti sejenak sambil tetap menebarkan senyum manisnya, wanita cantik itu melanjutkan.
"Saya kira saya berbicara terlalu banyak. Waktu semakin sempit, Kapten. Silahkan jemput agen itu. Ia duduk dekat jendela sebelah kanan, deret kedua dari depan."